Selasa, 07 Juni 2016

Sejarah Perbankan Syariah

     TUGAS BERSTRUKTUR                                                            DOSEN PENGASUH
Operasional Bank Syariah                                                         Nur Latifa Yanti, SE,MM


“Sejarah Perbankan Syariah”
Description: 200px-Lambang_IAIN_Antasari

Oleh
Kelompok 1
Anugerah putera
1401160399
Anis Maulida
1401160261
Linda Yulianti 
1401160303
Siti Sahriza Soraya
1401160376
Ariskiannor
1401160423
Fatmawati
1401160279
Nor Halimah
1401160
Rina
1401160
                                                
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2016

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
بسم ا لله ا لر حمن ا لر حىم
Puji dan syukur hanya milik Allah S.W.T.Dia-la yang telah menganugerahkan Al-Quran sebagai hudan li al-nas dan rahmat li al-alamin.Dia-lah yang Maha Mengetahui makna dan maksud kandungan Al-Quran
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W.Utusan dan manusia pilihan-Nya. Dia-lah penyampai, pengamal, dan penafsir pertama Al-Quran.
Dengan pertolongan dan hidayah-Nya-lah,kami dapat menyelesaikan makalah ini atas judul “Sejarah Perbankan Syariah”
Makalah ini kami susun guna  menyelesaikan tugas dari Ibu Nur Latifa Yanti, SE,MM dalam mata kuliah “Operasional Bank Syariah”
Adapun materi yang kami ambil dari berbagai sumber dan sedikit pengetahuan dari kami berharap, kiranya Ibu Nur Latifa Yanti, SE,MM maupun para pembaca dapat memberikan kritik dan masukan yang positif serta saran-saran untuk kesempurnaan makalah ini
Sebagai harapan pula,semoga makalah ini tercatat sebagai amal saleh dan menjadi motivator bagi kami maupun pembaca dalam menuntut ilmu
Semoga makalah ini membawa manfaat bagi khususnya kami sebagai penyusun dan umumnya kita semua
Amin ya rabbbal alamin…
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh …


  Penyusun

                        Kelompok 1



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.. 1
DAFTAR ISI. 2
BAB I. 3
PENDAHULUAN.. 3
A.     Latar Belakang. 3
B.     Rumusan Masalah. 3
C.     Tujuan. 3
BAB II. 4
PEMBAHASAN.. 4
A.     Pengiriman Uang (Transfer) dalam Negeri 4
B.     Inkaso dalam Negeri 8
C.     Safe Deposit Box (SDB). 12
D.     Surat Kredit Berdokumen dalam Negeri (SKBDN). 15
BAB III. 30
PENUTUP.. 30
A.     Kesimpulan. 30
B.     Saran-saran. 31





BAB I

PENDAHULUAN

A.     PENDAHULUAN
Cakupan ajaran agam islam mencakup seluruh aspek manusia, walaupun di jaman Rasulullah Saw belum terdapat institusi bank, ajaran islam sudah memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dalam aktivitas perdagangan dan perekonomian. Oleh karena itu, dalam menghadap permasalahan muamalah kontemporer yang harus dialakukan hanya lah mengindentifikasi prinsip-prinsip dan filosofi dasar ajaran islam dalam bidang ekonomi, dan kemudian mengidentifikasi semua hal yang dilarang dalam syariah islam. Setelah kedua hal ini dilakukan, kita dapat melakukan inovasi dan kreativitas (ijtihad) seluas-luasnya untuk memecahkan segala persoalan muamalah kontemporer, termasuk persoalan bank
Namun, sebelum proses ijitihad dalam persoalan perbankan dilakukan, kita sebaiknya meneliti terlebih dahulu apakah persoalan perbankan ini benar-benar persoalan baru bag iumat islam atau bukan. Apakah konsep “bank” merupakan konsep yang asing dalam sejarah perekonomian umat islam? Pertanyaaan ini amat penting untuk dijawab karena akan menentukan langkah kita selanjutnya. Bila konsep bank adalah suatu yang baru bagi umat islam, kita harus memulai langkah ijtihad kita dari nol. Namun. Bila konsep bank bukan konsep yang baru, artinya umat islam sudah mengenal bahkan mempraktikan fungsi-fungsi perbankan dalam kehidupan perekonomiannya, proses ijtihad yang harus kita lakukan tentunya akan menjadi lebih mudah. Dalam makalah ini  akan memberikan jawaban atas pertanyaan diatas dengan menulusuri singkat praktik perbankan yang dilakukan umat Muslim sepanjang sejarah.

B.     RUMUSAN MASALAH
1)      Bagaiman sejarah perbankan islam
2)      Bagaimana sejarah perbankan Islam di Indonesia
3)      Apa saja prinsip dasar terbentuknya perbankan islam

C.     TUJUAN PENULISAN
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok dari mata kuliah “Ekonomi Mikro Islam” dan juga sebagai jalan untk menambah wawasan kita tentang sejarah perankan Islam




BAB II

PEMBAHASAN

A.     SEJARAH SINGKAT PERBANKAN ISLAM
1.      Sebelum Islam
Sebelum islam datang sebetulnya sudah ada bentuk perdagangan yang sekarang dikembangkan di dunia bisnis modern. Bentuk-bentuk tersebut misalnya : al-musyarakah (join venture), al-Ba’iu Takjiri (venture capital), at-Takaful (insurance), al-Ba’iu Bithaman Ajil (instalment sale), al-murabahah (kredit kepemilikan barang). Bentuk-bentuk perdagangan tersebut telah berkembang di jazirah Arab karena letaknya sangat strategis bagi perdagangan pada waktu itu[1]
Jazirah arab yang berada dijalur perdagangan antara Asia-Afrika-Erofa kemungkinan besar telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ekonomi Mesir Purba, Yunani Kuno dan Romawi sekitar 2500 tahun sebelum masehi telah mengenal sistem perbankan. Demikian pula Babiulonia (daerah Irak sekarang) juga telah mengenal sistem perbankan +2000 tahun sebelum masehi
2.      Permulaan Islam
Lembaga perekonomian umat yang pertama ada pada masa permulaan islam yang sempat ditata oleh Nabi Muhammad adalah Bayt al-maal. Pada waktu itu lembaga ini berfungsi sebagai pengumpul dan pemberdaya harta yang bersumber dari umat islam seperti : zakat,infaq dan shadaqah. Bahkan pada perkembangan berikutnya Bayt al-maal ini menjadi kas/perbendaharaan negara.[2] Sebagaimana dikemukakan oleh Esponito, sesuai dengan fungsinya, bayt al-maal al-muslim. Bayt al-maal al-kashah berarti bayt al maal berfungsi sebagai kas perbendaharaan negara atau pengeluaran uang dari publik untuk biaya kepala negara, perawatan istana, gaji pegawai raja, hadiah bagi penguasa asing, dan kemaslahatan umum. Sedangkan dalam fungsi kedua, dana di bayt al-maal didayagunakan dalam kepentingan umat, seperti pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum, bahkan bisa digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif seperti membantu fakir dan miskin.[3]
3.      Bank Islam Modern
Hingga awal abad ke-20 Bank Islam ini baru merupakan obsesi dan diskusi/wacana baik oleh para akademisi maupun para praktek ekonomi. Kesadaran untuk mewujudkan Bank Islam sebagai solusi masalah untuk mencapai kesejahteraan terus meningkat. Meski gagasan Bank Islam itu masih belum bisa diwujudkan karena cengkraman sistem ekonomi dunia Barat tidak bisa melepaskan dari sistem bunga masih sangat kuat.
Pada tahun 1963 berdiri The Mit Ghamer Local Saving Bank di Mesir. Inilah Bank Islam modern pertama yang lahir melalui perjuangan yang panjang. Mit Ghamer melakukan pelayanan perbankan dengan berazaskan islam (syariah) dan mendapat sambutan hangat dari penduduk Mesir. Sayang Mit Ghamer yang didirikan oleh Ikhwanul Muslimin ini tidak berumur panjang, karena di Mesir terjadi kekacauan politik pada waktu itu, kemudian kegiatan operasional Mit Ghamer diambil alih pemerintahan Mesir dan diusulkan pengelolanya kepada National Bank of Egypt pada pertengahan tahun 1967. Jadi Mit Ghamer sempat berjalan ± 3½ tahun. Meski Mit Ghamer sudah dibubarkan oleh pemerintah Mesir pada waktu itu (Presiden Anwar Saddat), namun sejarah perbankan Islam sudah mencatata 2 hal positif : (a) Dalam masa ±3½ tahun berdirinya, Mit Ghamer telah mencatat kemajuan yang sangat berarti, dimana pada akhir tahun buku 1963/1964 Mit Ghamer mencatat jumlah nasabahnya sebanyak 17.500 orang dan pada akhir tahun buku diambil alih pemerintah Mesir mencatat jumlah yang spektakuler. (b) Prestawsi yang dicapai Mit Ghamer ini cukup memberikan pertanda bahwa prinsip islam (syariah) sangat applicable dalam bisnis modern. (c) Fenomena ini telah dapat membangkitkan semangat para pemikir islam untuk mempelajari dan mengkaji apa yang pernah dilakukan Mit Ghamer.
Kemudian pada tahun 1971 oleh Pemerintah Anwar Saddat didirikan lagi Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank. Bank ini mengambil alih bisnis bebas bunga yang dahulu dilaksanakan oleh Mit Ghamer.
Sejak tahun 1970 telah dirintis pula Bank Islam berskala internasional melalui Organisasi Konfrensi Islam (OKI). OKI ini telah menjadi motor penggerak bagi perelisasian perbankan islam baik di tingkat internasional maupun di tingkat nasional oleh masing-masing negara yang berdasar islam dan negara-negara yang penduduknya meyoritas beragama islam. Gencarnya gerakan untuk mendirikan bank islam ini didorong pula oleh pemikiran pada cendekiawan muslim seperti : Sayyid Abu al-‘A’la Maududi (1903-1979), Muhammad Baqur al Shadr (1931-1989) dan Muhammad Thalqini (1911-1979) dan kemudian dilanjutkan oleh ekonom-ekonom muslim seperti : Nijatullah Siddqi, Muhammad Abdul Manan, dan Muhammad Umar Chapra.
Pada tahun 1970 OKI telah mengadakan sidang di Karachi Pakistan dan menghasilkan rekomendasi untuk mendirikan bank islam internasional dan di semua negara anggota OKI.
Pada tahun 1974 dengan modal rekomendasi sidang konfederasi Islam OKI membahas AD/ART Bank Islam. Kemudian pada tahun 1975 di Jeddah Saudi Arabia Islamic Development bank (IDB didirikan oleh OKI dengan modal awal 2M SDR = 2M Dinar dan semua negara anggota OKI menjadi anggotanya. Modal awal sebesar 2M Dinar ini disumbangkan oleh raja Faisal dari Saudi Arabia yang menjadi tuan rumah pada waktu itu dan sekaligus orang yang paling getol berjuang untuk mendirikan bank islam pada waktu itu.
Berdirinya IDB ini ternyata dapat memotivasi negara-negara islam dan negara-negara yang penduduknya mayoritas islam untuk mendirikan lembaga keuangan islam. Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 1500 Kenbaga Keuangan Islam tersebar di negara-negara islam seperti : Mesir (1976), Sudan (1977). Saudi Arabia (1974), Jordania (1978), Kuwait, Bahrain (1979), Uni Emirat Arab Bangladesh (1975) ,  Tunisia, Pakistan, Indonesia, India, Iran, Malaysia Bangladesh, dan Turki. Bahkan di negara non muslim (sedikit muslimnya) juga berdiri seperti : Luxemburg, Inggris, Swiss, Denmark, Amerika Serikat, Australia dan New Zeland.[4]

B.     Sejarah Perbankan Islam di Indonesia
Tahun 1967-1983
Lahirnya Regulasi Perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Dalam pasal 13 huruf c diterangkan bahwa dalam usaha bank di dalam operasinya menggunakan sistem kredit dan tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini karena konsep bunga ini melekat dalam pengertian kredit itu sendiri. Lalu era tahun 1980an terjadi kesulitan pengendalian tingkat bunga oleh Pemerintah karena Bank-Bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersedianya likuiditas Bank Indonesia sehingga Pemerintah mengeluarkan Deregulasi 1 Juni 1983 yang membuka belenggu tingkat bunga ini. Deregulasi ini menimbulkan kemungkinan bagi Bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0% yang merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni sesuai prinsip bagi hasil.

Tahun 1988
Terhitung sejak adanya deregulasi 1 Juni 1983, lima tahun kemudian yakni pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis di bidang perbankan seluas-luasnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka pada tanggal 27 Oktober 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank yang telah ada. Pada era ini, dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah. Kemudian Majelis Ulama Indonesia melangsungkan Musyawarah Nasional IV pada tahun 1990 dimana hasil Munas tersebut mengamanatkan untuk membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.

Tahun 1991 - sekarang
 Tahun 1991, Bank Mualamat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim perbankan MUI tersebut dan mulai beroperasi penuh setahun kemudian. Pada periode ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memperkenalkan sistem perbankan bagi hasil. Dalam pasal 6 huruf (m) dan pasal 13 huruf (c) menyatakan bahwa salah satu usaha bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking sistem) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan umum dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Kemudian pada tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Bank Umum Umum diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Bank umum dapat memilih untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan sistem umum atau berdasarkan prinsip syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Sehingga kemudian tahun 2008, keluarlah UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang melengkapi minimnya regulasi perbankan syariah selama ini.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 mengatur beberapa ketentuan baru di bidang perbankan syariah, antara lain otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah pajak, penyelesaian sengketa perbankan, dan konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS). Lalu Undang-undang ini memberikan keleluasaan dalam pengembangan perbankan syariah sehingga memberi peluang besar ke depannya. Keleluasaan itu antar lain adalah : Pertama, Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bisa dikonversi menjadi Bank Umum. Sedangkan Bank Umum dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7). Kedua, bila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2). Ketiga, bank umum umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1), UUS mencapai asset paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Lalu banyak kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh jenis bank umum namun dapat dilakukan oleh BUS. Di antaranya, bank syariah bisa menjamin penerbitan surat berharga, penitipan untuk kepentingan orang lain, menjadi wali amanat, penyertaan modal, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun juga menerbitkan, menawarkan serta memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah. Dan kemudian perbankan syariah dapat menjalankan layanan yang sifatnya sosial. Misalnya menyelenggarakan lembaga baitul mal yang bergerak menerima dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya kemudian menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat
Sejarah bank syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1990, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.
Sampai tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).

C.     Dasar pemikiran terbentuknya bank islam
Dasar pemikiran terbentuknya Bank Islam bersumber dari adanya larangan riba di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadis sebagai berikut:
Orang-orang yang memakan riba itu tidak akan berdiei melaikan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan dengan terhuyunh-huyunh karena sentuhannya. Yang demikian itu karena perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barangsiapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka baginyalah apa yang telah lalu dan mengulangi (memankan riba) maka itu ahli neraka mereka akan kekal didalamnya. (QS. AL-Baqarah :275)
Dari Jabir r.a, dikatakan : Rasulullah saw. Mengutuk pemakan riba, yang menyuruh memakan riba, juru tulis pembuat akte riba dan saksi-saksinya. Menurut beliau : mereka tu sama saja (dosanya)
Selain mendasar pada ketentuan Al-Qur`an dan Al-Hadis berdirinya Bank Islam juga didasari oleh kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
1.      Praktik-praktik sistem bunga dan akibatnya. Sistem yang dimaksud adalah tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
Dalam kenyataanya, penerapan sistem bunga membawa akibat-akibat negatif sebagai berikut:
a.       Masyarakat sebagai nasabah menghadapi suatu ketidakpastian, bahwa hasil perusahaan dari kredit yang diambilnya tidak dapat diramalkan secara pasti. Sementara itu dia tetap wajb membayar presentasi berupa pengambilan sejumlah uang tertentu yang tetap berada diatas jumlah pokok pinjaman.
b.      Penerapan sistem bunga mengakibatkan eksploitasi (pemerasan) oleh orang kaya terhadap orang miskin.
2.      Sistem perbankan yang ada sekarang memiliki kecenderungan terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan  kelompok elit, para bankir dan pemilik modal.
3.      Sistem perbankan yang menerapkan bunga menimbulkan laju inflasi semakin tinggi, karena ada kecenderungan bank-bank untuk memberikan kredit secara berlebih-lebihan.
4.      Sistem perbankan yang menerapkan bunga sekarang dirasakan kurang berhasil dalam membantu memerangi kemiskinan dan meratakan pendapatan baik ditingkat internasional maupun di tingkat nasional.
5.      Di dalam era pembangunan ekonomi setiap negara dewasa ini peranan lembaga perbankan sangat besar dan menentukan.[5]



BAB III

PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Setelah kita menelurusi secara singkat sejarah praktik perbankan yang dilakukan oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fiqih ialm tidak mengenal ‘bank’, tetapi sesungguhnya bukti bukti sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi perbankan modern telah di praktikkan oleh umat muslim, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Praktik- praktik fungsi perbankan ini tentunya  berkembang secara berangsur-angsur dan mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tertentu, seiring dengan naik-turunnya peradaban umat muslim. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang asing  bagi umat muslim, sehinngga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya Allah akan menjadi lebih mudah.

B.     SARAN

DAFTAR ISI
·        http://tipsserbaserbi.blogspot.co.id/2014/03/sejarah-bank-syariah-di-indonesia.html    
 23 Februari 2016 yg pukul 09.35
·        A. Riawan Amin Menata Perbankaan Syariah di Indonesia UIN Press 2009 Jakarta
·         




[1] (Warkum Sumitro, 2002, hal6).
[2] (H.A.Jazuli dan Yadi Janwari, 2002, hal 9-10).
[3] (John.L.Eposito,2001,hal 5-6).
[4] (H.A.Jazuli dan Yadi Janwari, 2002, hal 14).
[5] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 8-15

manajemen likuiditas bank syariah

Kelompok 10
Anugerah Putera
Maulana
MegaWinarti
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi Manajemen Likuiditas
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih  baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga.[1]
Sedangkan manajemen liuiditas sendiri memiliki banyak pengertian, beberapa diantaranya adalah menurut :
1.      Duane B Graddy : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan ”
2.      Oliver G Wood : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang ”.[2]
Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar.[3]

B.     Tujuan manajemen likuiditas
1.      Mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalau tidak dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral.
2.      Memperkecil dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan mengurangi profitabilitas bank.
3.      Mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam kondisi yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman.

C.     Pengelolaan likuiditas dalam perbankan syariah
Dalam bank syariah manajemen likuiditas  secara konsep tidak jauh berbeda dengan manajemen bank konvensional. Baik itu dari segi tujuan dan resiko yang akan dihadapi oleh bank syariah. Yang membedakan hanyalah pada akad yang digunakan ketika melakukan kontrak. Selama ini alat untuk manajemen likuiditas dalam bank syariah adalah PUAS (pasar uang antar bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad wadiah. Apabila suatu bank kekurangan likuiditas, maka bank tersebut akan meminjam kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA, dan sebaliknya. Jadi pada prinsipnya manajemen bank baik konvensional maupun syariah tidak jauh berbeda. Yang membedakan dan yang ditekankan adalah bagaimana cara mendapatkan dana tersebut haruslah sesuai dengan syariah.

D.    Istrumen Likuiditas Bank Syariah[4]
Untuk mengatasi masalah likuiditas dalam dunia perbankan, baik itu bersifat kelebihan likuiditas ataupun kekurangan likuiditas, maka banyak sekali cara yang bisa digunakan. Ketika terjadi kelebihan likuiditas, pemerintah bisa mengatasinya dengan cara menerbitkan surat berharga islami, baik itu seperti sukuk dan lainnya.
Kunci yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah:

1.      Memiliki Primary Reserve ( Cadangan Primer )
yaitu dalam kas atau saldo yang ada pada Bank Indonesia atau Bank lain. Dalam dunia perbankan, primary reserve terdiri dari:
a.       Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM)
Selama ini Giro pada bank sentral dikenal dengan istilah yakni merupakan kewajiban setiap bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK) untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, bagi Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat tambahan GWM sebagai berikut:
1) Yang memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 1% dari DPK dalam rupiah.
2)  Yang memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
3)  Yang memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK dalam rupiah.  Sedangkan bagi yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan /atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan GWM.
b.      Kas pada valuta.
Alat likuid ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari.
c.       Giro pada Bank lain
Rekening giro pada bank lain bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer, inkaso, transaks L/C, dan lain-lain)
d.      Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso.
Alat likuid ini terdiri dari cek bank sentral atau bank koresponden yang belum secara efektif dikreditkan pada rekening bank pada bank sentral atau bank koresponden.
Dapat di katakan likuid apabila bank syariah dapat memelihara GWM di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat memelihara giro di Bank Koresponden dengan besarnya berdasarkan saldo minimum, dapat memelihara sejumlak kas secukupnya untuk memenuhi pengambilan uang tunai.[5]

2.      Memiliki Secondary Reserve
Secondary Reserve merupakan cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve, ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek. Baik dalam kondisi normal apalagi kondisi krisis atau pasar sedang ketat, kebutuhan likuiditas sulit untuk diantisipasi dan dipenuhi segera terutama jika terjadi rush, sehubungan dengan hal tersbut Cadangan Sekunder yang ditempatkan dalam bentuk surat-surat berharga (Marketable Securities) dilakukan dalam rangka memaksimalisasi penempatan dana setiap saat dan harus menghasilkan

Adapun cadangan sekunder berupa surat-surat berharga bisa berupa:
a.      Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
Peraturan Bank Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
Adapun ketentuan SWBI sebagai berikut :
1)      Jumlah dana yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000 dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50.000.000,. Jangka waktu SWBI satu minggu, dua minggu, dan satu bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.
2)      Imbalan yang diterima pada saat jatuh tempo adalah berupa bonus. Besarnya bonus akan dihitung dengan menggunakan acuan tingkat indikasi imbalan PUAS, yaitu rata-rata tertimbang dari tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA yang terjadi di PUAS pada tanggal penitipan

Peran SWBI dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang memilikinya adalah bisa digunakan pada saat terjadi kekurangan likuiditas ketika tidak tersedianya dana dari Pasar Uang ataupun dari Bank Pusat untuk Unit Usaha Syariah. Sebagai the lender of last resort, Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan dalam bentuk Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah dan SWBI tersebut dapat dijadikan agunan bagi fasilitas pembiayaan tersebut.

b.      Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Berdasarkan Undang-Undang SBSN yang diterbitkan pada Mei 2008, Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing.

Sedangkan Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di pasaran meliputi
1)      Sukuk ijarah yakni sukuk yang berdasarkan akad ijarah dimana satu pihak bertindak sendiri atau dapat diwakili dalam menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
2)      Sukuk mudharabah, yakni sukuk yang berdasarkan akad mudharabah dimana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dan keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagikan berdasarkan perjanjian sebelumnya.
3)      Sukuk musyarakah, yakni sukuk berdasarkan akah musyarakah dimana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing masing pihak.
4)      Sukuk istisna’, yakni sukuk berdasarkan akad  istisna’ dimana pihak menyepakati jual beli dalam pembiayaan suatu proyek atau barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang atau proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.

3.      Mempunyai akses ke pasar uang.
Pasar uang yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar modal syariah.
a.       Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Untuk saat ini, instrument keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) . Tujuan diberlakukannya Sertifikat IMA ini adalah untuk sarana investasi bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah, terutama untuk mengatur kebutuhan likuiditasnya. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (sertifikat IMA) didefinikan sebagai sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah.
   Adapun karakteristik Sertifikat IMA :
1)      Diterbitkan dengan akad mudharabah
2)      Dapat diterbitkan baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing
3)      Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat.
4)      Mencantumkan informasi sedikitnya : nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu investasi, indikasi tingkat imbalan Sertifikat IMA sebelum didistribusikan pada bulan terakhir.
5)      Berjangka waktu 1 hari sampai dengan 365 hari
6)      Dapat diperdagangkan sebelum jatuh tempo.


b.      Pasar Modal Syariah
Instrument di pasar modal syariah saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta Islamic Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan berinvestasi pada saham, maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary reserve dimana instrument ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan dicairkan untuk reksadana syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah membutuhkan dana jangka pendek.

c.       Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS)
FPJPS merupakan instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka pendek. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek ini, diberikan hanya kepada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun masih memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan.

d.      LPS Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan LPS. Jenis Bank tersebut meliputi bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran dan bank asing, serta bank konvensional dan bank Syariah. LPS adalah badan hukum yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan tanggal 22 September 2004. Pendirian dan operasional LPS dimulai sejak UU LPS berlaku efektif yakni tanggal 22 September 2005. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. LPS hanya akan menjamin pembayaran simpanan nasabah tersebut sampai dengan jumlah Rp 2 milyar sedangkan sisanya akan dibayarkan dari hasil likuiditasi bank.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiba mgn pada saat ditagih  baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga. Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Fungsi dari manajemen likuiditas salah satunya adalah untuk memberikan keyakinan kepada para penyimpan dana bahwa deposan dapat menarik sewaktu-waktu dananya atau pada saat jatuh tempo dana tersebut dapat ditarik. Oleh karena itu bank wajib mempertahankan sejumlah dana likuid agar bank dapat memenuhi kewajibannya tersebut. Selama ini alat untuk manajemen likuiditas dalam bank syariah adalah PUAS (pasar uang antar bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad wadiah. Apabila suatu bank kekurangan likuiditas, maka bank tersebut akan meminjam kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA, dan sebaliknya.
Instrument yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah : 1. Memiliki Primary Reserve ( Cadangan Primer ) yang terdiri dari: Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM), Kas pada valuta, Giro pada Bank lain, Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso. 2.Memiliki Secondary Reserve Yaitu cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve. Adapun cadangan sekunder berupa surat - surat berharga bisa berupa: Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).3. Mempunyai akses ke pasar uang yaitu :    Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS), Pasar Modal Syariah, Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS), LPS Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan














DAFTAR PUSTAKA


Djinarto,Bambang. Banking Asset Liability Management. 2000, Jakarta : Gramedia Pustakutama.

Muhamad.Manajemen Dana Bank Syariah. 2004. Yogyakarta : Ekonisia.

Rusyamsi, Imam. Asset Liability Managemen : Strategi pengelolaan Aktiva Pasiva Bank. 1999 Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 1999.

http://shariaeconomy.blogspot.com/2014/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html




[1] Bambang Djinarto, Banking Asset Liability Management, ( Jakara: Gramedia Pustak utamat ), 2000,  hlm 15
[2] http://shariaeconomy.blogspot.com/2014/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html
[3] Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah, ( Yogyakarta: Ekonisia ), 2004, hlm.63
[4] http://risaariani6.blogspot.com/2014/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html
[5] Imam Rusyamsi, Asset Liability Managemen : Strategi pengelolaan Aktiva Pasiva Bank,(Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1999), hlm.39