TUGAS BERSTRUKTUR
DOSEN PENGASUH
Fikih Muamalah
Sa,adah S .Ag, MH
“Kafalah”
Oleh
Kelompok 9
Anugerah Putera
1101160399
Dede Toyib Nur Kholis 1101160228
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
20116
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Al-Kafalah
B. Landasan
Hukum Kafalah
C. Hikmah
D. Rukun
dan Syarat al-Kafalah
E. Macam-macam
al-Kafalah
F. Kebolehan
dan Batas Tanggung Jawab Penanggung (Kafil)
G. Pembayaran
Kafil (Orang Yang Menjamin)
H. Fatwa
DSN Tentang Kafalah
I. Penerapan
al-Kafalah dalam Perbankan Syariah
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang
penting.Modal tersebut dapat bersifat material, atau immaterial (skill, trust,
dan sebagainya). Untuk memenuhi kebutuhan modal, seorang pengusaha bisa
menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti bank dengan
akad qardhun. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa
syarat, di antaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan (trust), dan adanya
jaminan.
Berkaitan dengan jaminan ini, dapat dibedakan dalam
jaminan perorangan (personal guarantie) dan jaminan kebendaan.Jaminan
perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang yang memberikan
hutang/kreditor (makful lahu) dengan seorang pihak ketiga sebagai penjamin
(kafil) yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang/debitor
(makful ‘anhu). Jaminan ini bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa
sepengetahuan si berhutang tersebut
(debitor). Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditor (pemberi
hutang) dengan debitornya (Peminjam), tetapi juga dapat diadakan antara
kreditor dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban
si berhutang (debitor).Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam
ajaran Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis
dhamman (tanggungan).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan kafalah?
2.
Bagaimana ruang
lingkup kafalah?
3.
Bagaimana
pelaksanaan kafalah?
4.
Bagaimana
aplikasi kafalah dalam perbankan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
apa yang dimaksud dengan kafalah
2.
Untukmengetahui
apa rukun dan syarat kafalah
3.
Untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan kafalah
4.
Untuk mengetahui
bagaimana aplikasi kafalah dalam perbankan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Kafalah
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان (jaminan), الحمالة (beban), dan الزعامة
(tanggungan).
Secara
terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa
kafalah adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan
hutang”. Definisi lain adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung
(kafil) kepada pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor(makful
lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang
berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Dr Muhammad Tahir Mansuri menyebutkan defenisi
kafalah dalam buku ‘Islamic Law of Contracts and business Transaction’, “as merging
of one liability with another in respcct of and for performance of an
obligation”.[1]
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman,
yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas.Namun dalam
perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee,
jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk
barang/harta benda.[2]
Dalam buku “Ekonomi Syariah Versi Salaf “ Kafalah
memilki definisi secara lebih terssusun dan jelas sebagai kesanggupan untuk
memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang lain , kesanggupan untuk
mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang
mempunyai kewajiban terhadap orang lain . dalam dalam buku Ekonomi Syariah
Versi Salaf itu juga kembali disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
a) Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan
seseorang untuk menngganti atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila
orang tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannnya.
b) kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya
tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung hukuman yang seharuasnya
diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan dirinya atau disebut juga
sebagai kafalah An Nafs
c) kafalah yang tertuang di dalamnya tentang
kesanggupan seseorang dalam mengembalikan ‘ain madhmunah pada orang yang berhak.[3]
B.
Landasan Hukum Kafalah
1. Al-Qur’an
قَالُوا
نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
“Penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." (Surah Yusuf : 72 )
Dalam tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para
pembantu raja menjawab, "Kami sedang mencari bejana tempat minum raja.
Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat
beban unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan
berkata, "Aku menjamin janji ini."[4]
Ibnu
Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za’im dalam ayat ini adalah kafiil
penjamin.[5]
2. Hadits
Jabir
bin Abdullah ra. Berkata:
وَعَنْ
جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ,
وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا:
تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ،
فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ:
اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ
وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ,
وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
“Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata:
Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya,
menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda
akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya:
"Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau
kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya;
Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan
mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya.
Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan
Hakim”.[6]
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Salamah
bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar.Di dalam riwayat Ibn
Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ attakaffalu bihi (Aku
yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat
tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi
kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah
menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah
Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu
Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw.
bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).[7]
C.
Hikmah berkafalah
Kafalah ( jaminan) merupakan salah satu ajaran
Islam. Jaminan pada hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan
bagi semua orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini
kafalah adalah asuaransi. Jaminan atau asuaransi telah disyariatkan oleh Islam
ribuan tahun silam. Ternyata, untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat
penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti uang apalagi
transaksi besar seperti bank dan sebagainya. Hikmah yang dapat diambil adalah
kafalah mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian
dalam bertransaksi. Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry dari kafalah untuk
memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong menolong, mempermudah transaksi
dalam pembayaran utang, harta dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak
mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau
benda yang dipinjam.[8]
D.
Rukun
dan Syarat al-Kafalah
menurut para ulama
rukun dan syarat al-kafalah adalah sebagai berikut.
1. Dhamin,
kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah
baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan
dengan kehendaknya sendiri.
2. Madmun
lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang
diketahui oleh orang yang menjamin. Madmunlah disebut juga dengan mafkul lah,
madmun lah disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam
hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
3. Madmun’anhu
atau makful’anhu adalah orang yang berutang.
4. Madmun
bih atau makful bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada makful
bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
5. Lafadz,
disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada
sesuatu dan tidak berarti sementara.
E.
Macam-macam
al-Kafalah
Secara umum (garis besar), al-kafalah dibagi menjadi dua
bagian, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa
dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian (keharusan)
pada pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau al-za’im) untuk menghadirkan
orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makfullah).
Penanggungan (jaminan) yang menyangkut masalah manusia
boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan
karena kafalah menyangkut badan bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah,
seperti had al-khamar dan had menuduh zina tidak sah, sebab Nabi Saw. Bersabda:
“Tidak ada kafalah
dalam had” (Riwayat al-Baihaqi).
Alasan berikutnya ialah karena menggugurkan dan menolak
had adalah perkara syubhat. Oleh karena itu, tidak ada kekuatan jaminan yang
dapat dipegang dan tidaklah mungkin had dapat dilakukan, kecuali oleh orang
yang bersangkutan.
Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah
dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia,
seperti qishash dan qadzaf karena kedua hal tersebut menurut Syafi’iyah
termasuk hak yang lazim. Bila menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah,
maka hal itu tidak sah dengan kafalah.
Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut. Menjamin dengan
menghadirkan badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut persoalan harta
maupun menyangkut masalah had. Syarat apapun yang tidak terdapat dalam
kitabullah adalah bathil.
Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah
jiwa (kafalah bil al-wajah), dengan alas an bahwa rasullullah Saw pernah
menjamin urusan tuduhan. Namun, menurut Ibnu Hazm bahwa hadits yang
menceritakan tentang penjaminan Rasulullah Saw. Pada masalah tuduhan adalah
bathil karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak,
dia adalah dhaif dan tidak boleh diambil periwayatnya.
Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka
orang tersebut wajib menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya,
sedangkan penjamin masih hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir,
menurut mazhab Maliki dan penduduk Madinah penjamin wajib membayar utang orang
yang ditanggungnya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
“penjamin adalah
berkewajiban membayar” ( Riwayat Abu Dawud )
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi bahwa penjamin (kafil
atau dhamin) harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut atau
sampai penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia, dalam keadaan
demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta, kecuali ketika
menjamin mensyaratkan demikian (akan membayarnya).
Menurut mazhab Syafi’I, bila ashil telah meninggal dunia,
maka kafil tidak wajib membayar kewajibannya karena ia tidak menjamin harta,
tetapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab (Sabiq,
t.t:161).
Kafalah yang kedua adalah kafalah harta, yaitu kewajiban
yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (Pemenuhan)
berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, berikut ini.
1. Kafalah
bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain, dalam
hadis Salamah bin aqwa bahwa Nabi saw tidak mau menshalatkan mayat yang
mempunyai kewajiban membayar utang, kemudian Qathadah r.a. berkata:
“Shalatkanlah
dia dan saya akan membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya.”
Dalam
kafalah utang disyaratkan sebagai berikut.
a. Hendaklah
nilai barang tersebut tetap pada waktu
terjadinya transaksi jaminan, seperti utang Qiradh, upah dan mahar, seperti
seseorang berkata, “Juallah benda itu
kepada A dan aku berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian”, maka
harga penjualan benda tersebut adalah jelas, hal disyaratkan menurut Mazhab
Syafi’i. sementara Abu Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin
sesuatu yang nilainya belum ditentukan.
b. Hekdaklah
barang yang dijamin diketahui menurut Mazhab syafi’I dan Ibnu Hazm bahwa
seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab itu perbuatan
tersebut adalah gharar. Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat
bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
2. Kafalah
dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang
ada ditangan orang lain, seperti mengambalikan barang yang di ghasab dan
menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang
dijamin untuk ashil seperti dalam kasus ghasab. Namun, bila bukan berbentuk
jaminan, kafalah batal.
3. Kafalah
dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan
mendapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal
lainnya, maka ia (pembeli barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada
penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau
barang tersebut adalah barang gadai.
F.
Kebolehan dan Batas Tanggung Jawab Penanggung
(Kafil)
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh
apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami
(menyangkut hak manusia).Misalnya menanggung orang yang mendapat hukuman
Qishas. Hukuman itu merupakan tanggung jawab yang hampir sama dengan tanggung
jawab atas harta benda. Maksud menanggung disini adalah, menanggung orangnya
agar tidak melarikan diri menghindari hukuman, bukan menanggung hukuman atas
orang itu.
Menanggung orang yang dihukum, akibat dosa terhadap
hak Allah SWT yaitu hudud tidaklah sah.Hudud adalah sanksi terhadap suatu
kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ guna mencegah
kemaksiyatan yang serupa.Misalnya, dihukum karena berzina, homoseksual, menuduh
berzina, meminum khamar, murtad, pembegal, dan mencuri.Bahkan kita
diperintahkan untuk menghalangi perbuatan-perbuatan tersebut serta
memberantasnya sekuat tenaga. Nabi Saw., bersabda :
“Tidak ada kafalah dalam had” (HR.
Al-Baihaqi)”[9]
Jika orang yang ditanggung (yang akan dihukum)
meninggal dunia, orang yang menanggung tidak dikenai hukuman hudud , seperti
apa yang sedianya akan dijatuhkan kepada orang yang ditanggung. Ia tidak harus
menggantikannya sebagaimana kalau menanggung harta benda.[10]
G.
Pembayaran Kafil (Orang Yang Menjamin)
Apabila orang yang menjamin (dhamin/kafil) memenuhi
kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan pembayaran itu atas
perintah/izin makful ‘anhu. Maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah
yang sama kepada orang yang ia jamin (makful ‘anhu). Dalam hal ini keempat imam
madzhab bersepakat.
Namun mereka berbeda pendapat, apabila penjamin
(kafil) sudah membayar hutang/beban orang yang ia jamin (makful ‘anhu) tanpa
perintah/izin orang yang dijamin. Menurut as-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa
membayar hutang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, penjamin
(kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin
(makful ‘anhu). Contohnya seperti kasus Abu Qatadah ra.yang membayar hutang si
mayit. Menurut Mazhab Maliki, penjamin (kafil) berhak menagih kembali kepada
orang yang dijamin (makful ‘anhu).Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafil/dhamin tidak
berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu) atas apa yang
telah dia bayarkan, baik dengan perintah/izin makful ‘anhu maupun tidak.
Kecuali orang yang dijamin meminta diqardhunkan (aqad hutang ke penjamin). Dan
itu berarti si penjamin boleh menagih kembali atas apa yang dia bayarkan.[11]
H.
Fatwa DSN Tentang Kafalah
Ketentuan
hukum dalam fatwa DSN MUI no. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah ini adalah
sebagai berikut :
Pertama
: Ketentuan Umum Kafalah
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan
(fee) sepanjang tidak memberatkan.
3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak
boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua
: Rukun dan Syarat Kafalah
1. hak Penjamin (Kafiil)
a.
Baligh (dewasa)
dan berakal sehat.
b.
Berhak penuh
untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan
tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.
Sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b.
Dikenal oleh
penjamin.
3. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a.
Diketahui
identitasnya.
b.
Dapat hadir pada
waktu akad atau memberikan kuasa.
c.
Berakal sehat.
4. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a.
Merupakan
tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan.
b.
Bisa
dilaksanakan oleh penjamin.
c.
Harus merupakan
piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau
dibebaskan.
d.
Harus jelas
nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.
Tidak
bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga
: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[12]
I.
Penerapan al-Kafalah dalam Perbankan Syariah
Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip
kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih
dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar
hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut.
Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif
baik berupa komitmen maupun kontinjen.
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan
penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas
letter of credit. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi
pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih amandan
terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan
jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila
nasabah wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan
ini, juga akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang
mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan
memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka.[13]
Bank
Garansi
Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan
pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan (pemilik
proyek) apabila di kemudian hari pihak yang dijamin (pengelola proyek) tidak
memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan (pemilik proyek) sesuai dengan
jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan.Oleh karena itu, di dalam
mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai
penjamin, nasabah pengelola proyek sebagai yang dijamin atas permintaannya, dan
penerima jaminan (pemilik proyek).
Bank dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta
kepada nasabah pengelola proyek setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian
atau seluruhnya) dari total nilaiobyek yang dijaminkan. Bank juga dapat
mensyaratkan nasabah pengelola proyek untuk menempatkan sejumlah dananya
sebagai rahn.Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip
wadi’ah/titipan.Karena hal tersebut, bank boleh mendapatkan pengganti biaya
gaji karyawan bank dan biaya administrasi.
Surat garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi
dapat di bagi menjadi enam bentuk surat penjaminan garansi yang dikeluarkan
oleh bank penjamin kepada yang dijamin agar proyek usaha atau bisnisnya bisa
selesai berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan pemilik proyek .
1. Bid Bond. Secara umum bid bond penngertiannya sama
dengan penjabaran arti dsan makna dari bank garansi di atas . yakin bank
sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas permintaan nasabah untuk
kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi dapat selesai dengan
seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal
2. Performance Bond.Hampir sama dengan bid bond Jaminan
yang diberikan oleh bank penjamin atas permintaan nasabah untuk kepentingan
pihak pemilik proyek . hanya saja dalam Permormance Bond justru dsengaja
ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek terikat dengan kontrak dan hal
ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tyadi bisa dengan aman dan
nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang tentunya pihak pengelola
sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada pemilik proyek
3. Advance Payment Bond. Hampir sama dengan dua
penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya antara bank penjamin ,
pihak yang dijamin , dan pihak yang terjmain adalah pembayaran di awal muka
atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor
4. Rentention Bond.Jaminan yang diterbitkan oleh bank
atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu untuk kepentingan pemilik proyek
yang menjadi mitra kerja nasabah . Ia berkaitan dengan pemeliharaan hasil
pekerjaan /proyek sampai batas waktu yang telah diperjanjikan kontark kerja
5. Custom Bond. Berkaitan erat dengan penangguhan bea
masuk atas barang=-barang impor yang dimintakan penangguhan pembayarannya
apanila memnuhi syarat-syarat yang ditetapkan penangguhan pembayarannnya.
6. Shipping Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh
bank atas permintaan nasabahnya, sehubungan dengan pengeluaran barang-barang
impor dari pelabuhan/maskapai pelayaran, sebelum datangnya dokumen impor yang
asli dari bank yang melakukan negosiasi.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kafalah
adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (yang
menerima jaminan) (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (pihak
yang dijamin) (makful ‘anhu, ashil). Akad ini berlandaskan dalil baik dari
al-qur’an maupun as-sunnah dan memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi.
Secara garis besar, kafalah dibagi menjadi dua
bagian yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bin-nafs) dan kafalah dengan harta
(kafalah bil-maal).
Kafalah dapat dilaksanakan dengan lima bentuk,
yaitu, Kafalah Al-Mu’allaqah, Kafalah Al-Munjazah, Kafalah Bi At-Taslim,
Kafalah Bi An-Nafs, Kafalah Bi Al-Mal,
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh
apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami
(menyangkut hak manusia). Tidak menyangkut hak Allah Swt.(hudud).
Jika orang yang menjamin memenuhi kewajibannya
dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan atas perintah/izin yang
dijamin, maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada
orang yang ia jamin. Jika tidak atas perintah orang yang dijamin, maka penjamin
(kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin
(makful ‘anhu).
Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin/pengelola
proyek (makful ‘anhu) dapat menyelesaikan proyek dengan ditanggung
pengerjaannya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan
pihak ketiga (bank/kafil) yang menjamin pengerjaannya. Sedangkan dengan adanya
kafalah pihak yang menerima jaminan/pemilik proyek (makful lahu) menerima
jaminan dari penjamin (dalam hal ini bank/kafil ) bahwa proyek yang
diselesaikan oleh nasabah pengelola proyek tadi dapat selesai dengan tepat
waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan.
Jakarta:Tazkia
Institute.
Nor, M. Dumairi, dkk. 2008. Ekonomi
Syariah Versi Salaf. Pasuruan : Pustaka
Sidogiri.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih
Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zulkifli, Sunarto. 2001. Panduan
Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta:
Gema
Insani.
Imron AL-Hushein, http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya
di-lembaga.html.
Diakses tanggal 26/03/2016 pukul 13:45.
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa
dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui
diakses tanggal 26 Maret 2016 pukul 12:21
Kamaludin,
Marjuki A 1997, FIKIH SUNNAH 13. Bandung : PT Al Ma’rif
[1] Muhammad
Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracts and business Transaction (New Delhi: Adam Publishers and Distributors.
2006) hal. 289.
[2] Ahmad
Isa Asyur,Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (Terj). (Solo: Pustaka Mantiq,
1995).Hal. 276.
[3] M.
Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan : Pustaka Sidogiri,
2008.) hal. 73
[4]
Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Asarut
Tafasir Jilid 2 (Madinah: Darus Sunnah.
1993) hal. 631.
[5]Wahabbah
Al-Zuhaili, Asy-Syamil Li Adillah Asy-Syar’iyah Wa Al-Ara Al-Madzhabiyah Wa
Ahammu Al_Nadhriyat A-Fiqhiyah (Beirut: Darul Fikri. 2005) Hal. 4142
[6] Al-Hafidh
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Jeddah:
Al-Harmain.)Hal. 186.
[7] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan (Jakarta:Tazkia
Institute.1999) hal. 232.
[8] Wahabbah
Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV (Beirut : Darul Fikri,
2005) Hal 4143
[9] Op.
Cit, Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani, hal. 187.
[10] Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fi Hal Ghayatul Ikhtishar
Juz I (Semarang: Toha Putra.) hal. 280.
[11] Imran
Ahsan Khan Nyazee, Islamic Law of
Business Organization Partnertships (New Delhi: Kitab Bhayan. 2006) hal. 61.
[12] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa-dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui diakses tanggal 29 Maret 2013 pukul 12:21
[13]
Imron AL Hushein,
http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya-di-lembaga.html.
Diakses tanggal 30/03/2013 pukul 13:45
[14]
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis
Transaksi Perbankan Syariah,(Jakarta: Gema Insani. 2001) hal. 79.
0 komentar:
Posting Komentar