Selasa, 07 Juni 2016

Kafalah

TUGAS BERSTRUKTUR                                                          DOSEN PENGASUH
Fikih Muamalah                                                                                Sa,adah S .Ag, MH


“Kafalah”

Oleh
Kelompok 9
Anugerah Putera                       1101160399
Dede Toyib Nur Kholis            1101160228

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
20116



DAFTAR ISI
BAB I. 3
PENDAHULUAN.. 3
A.     Latar Belakang. 3
B.     Rumusan Masalah. 3
C.     Tujuan Penulisan. 3
BAB II. 4
PEMBAHASAN.. 4
A.     Pengertian Al-Kafalah. 4
B.     Landasan Hukum Kafalah. 5
C.     Hikmah. 6
D.     Rukun dan Syarat al-Kafalah. 7
E.     Macam-macam al-Kafalah. 7
F.      Kebolehan dan Batas Tanggung Jawab Penanggung (Kafil). 9
G.         Pembayaran Kafil (Orang Yang Menjamin). 9
H.         Fatwa DSN Tentang Kafalah. 10
I.       Penerapan al-Kafalah dalam Perbankan Syariah. 11
BAB III. 13
PENUTUP.. 13
A.     Kesimpulan. 13
DAFTAR PUSTAKA.. 14






BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang penting.Modal tersebut dapat bersifat material, atau immaterial (skill, trust, dan sebagainya). Untuk memenuhi kebutuhan modal, seorang pengusaha bisa menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti bank dengan akad qardhun. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat, di antaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan (trust), dan adanya jaminan.
Berkaitan dengan jaminan ini, dapat dibedakan dalam jaminan perorangan (personal guarantie) dan jaminan kebendaan.Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) dengan seorang pihak ketiga sebagai penjamin (kafil) yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang/debitor (makful ‘anhu). Jaminan ini bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa sepengetahuan  si berhutang tersebut (debitor). Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditor (pemberi hutang) dengan debitornya (Peminjam), tetapi juga dapat diadakan antara kreditor dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang (debitor).Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam ajaran Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis dhamman (tanggungan).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kafalah?
2.      Bagaimana ruang lingkup kafalah?
3.      Bagaimana pelaksanaan kafalah?
4.      Bagaimana aplikasi kafalah dalam perbankan?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kafalah
2.      Untukmengetahui apa rukun dan syarat kafalah
3.      Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kafalah
4.      Untuk mengetahui bagaimana aplikasi kafalah dalam perbankan
                                                                                      





BAB II

PEMBAHASAN

                      
A.    Pengertian Al-Kafalah
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان  (jaminan), الحمالة (beban), dan الزعامة (tanggungan).
Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga­ yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor(makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Dr Muhammad Tahir Mansuri menyebutkan defenisi kafalah dalam buku ‘Islamic Law of Contracts and business Transaction’, “as merging of one liability with another in respcct of and for performance of an obligation”.[1]
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas.Namun dalam perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk barang/harta benda.[2]
Dalam buku “Ekonomi Syariah Versi Salaf “ Kafalah memilki definisi secara lebih terssusun dan jelas sebagai kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang lain , kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain . dalam dalam buku Ekonomi Syariah Versi Salaf itu juga kembali disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
a)      Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menngganti atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannnya.
b)      kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung hukuman yang seharuasnya diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs
c)      kafalah yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang dalam mengembalikan ‘ain madhmunah pada orang yang berhak.[3]

B.     Landasan Hukum Kafalah
1.      Al-Qur’an
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
 
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." (Surah Yusuf : 72 )
Dalam tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para pembantu raja menjawab, "Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan berkata, "Aku menjamin janji ini."[4]
Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za’im dalam ayat ini adalah kafiil penjamin.[5]
2.       Hadits
Jabir bin Abdullah ra. Berkata:
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
“Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim”.[6]
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar.Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).[7]

C.    Hikmah berkafalah
Kafalah ( jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan pada hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah adalah asuaransi. Jaminan atau asuaransi telah disyariatkan oleh Islam ribuan tahun silam. Ternyata, untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti uang apalagi transaksi besar seperti bank dan sebagainya. Hikmah yang dapat diambil adalah kafalah mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian dalam bertransaksi. Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry dari kafalah untuk memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang, harta dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.[8]

D.    Rukun dan Syarat al-Kafalah
menurut para ulama rukun dan syarat al-kafalah adalah sebagai berikut.
1.      Dhamin, kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2.      Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Madmunlah disebut juga dengan mafkul lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
3.      Madmun’anhu atau makful’anhu adalah orang yang berutang.
4.      Madmun bih atau makful bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada makful bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
5.      Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

E.     Macam-macam al-Kafalah
            Secara umum (garis besar), al-kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian (keharusan) pada pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makfullah).
            Penanggungan (jaminan) yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafalah menyangkut badan bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-khamar dan had menuduh zina tidak sah, sebab Nabi Saw. Bersabda:
“Tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat al-Baihaqi).
            Alasan berikutnya ialah karena menggugurkan dan menolak had adalah perkara syubhat. Oleh karena itu, tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dipegang dan tidaklah mungkin had dapat dilakukan, kecuali oleh orang yang bersangkutan.
            Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia, seperti qishash dan qadzaf karena kedua hal tersebut menurut Syafi’iyah termasuk hak yang lazim. Bila menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.
            Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut. Menjamin dengan menghadirkan badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut persoalan harta maupun menyangkut masalah had. Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah bathil.
            Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa (kafalah bil al-wajah), dengan alas an bahwa rasullullah Saw pernah menjamin urusan tuduhan. Namun, menurut Ibnu Hazm bahwa hadits yang menceritakan tentang penjaminan Rasulullah Saw. Pada masalah tuduhan adalah bathil karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia adalah dhaif dan tidak boleh diambil periwayatnya.
            Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut wajib menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya, sedangkan penjamin masih hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, menurut mazhab Maliki dan penduduk Madinah penjamin wajib membayar utang orang yang ditanggungnya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
“penjamin adalah berkewajiban membayar” ( Riwayat Abu Dawud )
            Sedangkan menurut Mazhab Hanafi bahwa penjamin (kafil atau dhamin) harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut atau sampai penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia, dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta, kecuali ketika menjamin mensyaratkan demikian (akan membayarnya).
            Menurut mazhab Syafi’I, bila ashil telah meninggal dunia, maka kafil tidak wajib membayar kewajibannya karena ia tidak menjamin harta, tetapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab (Sabiq, t.t:161).
            Kafalah yang kedua adalah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (Pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, berikut ini.
1.      Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain, dalam hadis Salamah bin aqwa bahwa Nabi saw tidak mau menshalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar utang, kemudian Qathadah r.a. berkata:

“Shalatkanlah dia dan saya akan membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya.”
Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut.

a.       Hendaklah nilai barang tersebut tetap  pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang Qiradh, upah dan mahar, seperti seseorang berkata, “Juallah  benda itu kepada A dan aku berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian”, maka harga penjualan benda tersebut adalah jelas, hal disyaratkan menurut Mazhab Syafi’i. sementara Abu Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin sesuatu yang nilainya belum ditentukan.
b.      Hekdaklah barang yang dijamin diketahui menurut Mazhab syafi’I dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab itu perbuatan tersebut adalah gharar. Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
2.      Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti mengambalikan barang yang di ghasab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil seperti dalam kasus ghasab. Namun, bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
3.      Kafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka ia (pembeli barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.

F.     Kebolehan dan Batas Tanggung Jawab Penanggung (Kafil)
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut hak manusia).Misalnya menanggung orang yang mendapat hukuman Qishas. Hukuman itu merupakan tanggung jawab yang hampir sama dengan tanggung jawab atas harta benda. Maksud menanggung disini adalah, menanggung orangnya agar tidak melarikan diri menghindari hukuman, bukan menanggung hukuman atas orang itu.
Menanggung orang yang dihukum, akibat dosa terhadap hak Allah SWT yaitu hudud tidaklah sah.Hudud adalah sanksi terhadap suatu kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ guna mencegah kemaksiyatan yang serupa.Misalnya, dihukum karena berzina, homoseksual, menuduh berzina, meminum khamar, murtad, pembegal, dan mencuri.Bahkan kita diperintahkan untuk menghalangi perbuatan-perbuatan tersebut serta memberantasnya sekuat tenaga. Nabi Saw., bersabda :
Tidak ada kafalah dalam had” (HR. Al-Baihaqi)”[9]
Jika orang yang ditanggung (yang akan dihukum) meninggal dunia, orang yang menanggung tidak dikenai hukuman hudud , seperti apa yang sedianya akan dijatuhkan kepada orang yang ditanggung. Ia tidak harus menggantikannya sebagaimana kalau menanggung harta benda.[10]

G.    Pembayaran Kafil (Orang Yang Menjamin)
Apabila orang yang menjamin (dhamin/kafil) memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan pembayaran itu atas perintah/izin makful ‘anhu. Maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin (makful ‘anhu). Dalam hal ini keempat imam madzhab bersepakat.
Namun mereka berbeda pendapat, apabila penjamin (kafil) sudah membayar hutang/beban orang yang ia jamin (makful ‘anhu) tanpa perintah/izin orang yang dijamin. Menurut as-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar hutang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, penjamin (kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu). Contohnya seperti kasus Abu Qatadah ra.yang membayar hutang si mayit. Menurut Mazhab Maliki, penjamin (kafil) berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafil/dhamin tidak berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu) atas apa yang telah dia bayarkan, baik dengan perintah/izin makful ‘anhu maupun tidak. Kecuali orang yang dijamin meminta diqardhunkan (aqad hutang ke penjamin). Dan itu berarti si penjamin boleh menagih kembali atas apa yang dia bayarkan.[11]
H.    Fatwa DSN Tentang Kafalah
Ketentuan hukum dalam fatwa DSN MUI no. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah ini adalah sebagai berikut :
Pertama  : Ketentuan Umum Kafalah
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.      Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.      Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Kafalah
1.      hak Penjamin (Kafiil)
a.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.      Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b.      Dikenal oleh penjamin.
3.      Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a.       Diketahui identitasnya.
b.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c.       Berakal sehat.
4.      Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a.       Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c.       Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.       Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[12]

I.       Penerapan al-Kafalah dalam Perbankan Syariah
Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen.
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih amandan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka.[13]
Bank Garansi
Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan (pemilik proyek) apabila di kemudian hari pihak yang dijamin (pengelola proyek) tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan (pemilik proyek) sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan.Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah pengelola proyek sebagai yang dijamin atas permintaannya, dan penerima jaminan (pemilik proyek).
Bank dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta kepada nasabah pengelola proyek setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilaiobyek yang dijaminkan. Bank juga dapat mensyaratkan nasabah pengelola proyek untuk menempatkan sejumlah dananya sebagai rahn.Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah/titipan.Karena hal tersebut, bank boleh mendapatkan pengganti biaya gaji karyawan bank dan biaya administrasi.
Surat garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi dapat di bagi menjadi enam bentuk surat penjaminan garansi yang dikeluarkan oleh bank penjamin kepada yang dijamin agar proyek usaha atau bisnisnya bisa selesai berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan pemilik proyek .
1.      Bid Bond. Secara umum bid bond penngertiannya sama dengan penjabaran arti dsan makna dari bank garansi di atas . yakin bank sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas permintaan nasabah untuk kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi dapat selesai dengan seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal
2.      Performance Bond.Hampir sama dengan bid bond Jaminan yang diberikan oleh bank penjamin atas permintaan nasabah untuk kepentingan pihak pemilik proyek . hanya saja dalam Permormance Bond justru dsengaja ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek terikat dengan kontrak dan hal ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tyadi bisa dengan aman dan nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang tentunya pihak pengelola sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada pemilik proyek
3.      Advance Payment Bond. Hampir sama dengan dua penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya antara bank penjamin , pihak yang dijamin , dan pihak yang terjmain adalah pembayaran di awal muka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor
4.      Rentention Bond.Jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu untuk kepentingan pemilik proyek yang menjadi mitra kerja nasabah . Ia berkaitan dengan pemeliharaan hasil pekerjaan /proyek sampai batas waktu yang telah diperjanjikan kontark kerja
5.      Custom Bond. Berkaitan erat dengan penangguhan bea masuk atas barang=-barang impor yang dimintakan penangguhan pembayarannya apanila memnuhi syarat-syarat yang ditetapkan penangguhan pembayarannnya.
6.      Shipping Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabahnya, sehubungan dengan pengeluaran barang-barang impor dari pelabuhan/maskapai pelayaran, sebelum datangnya dokumen impor yang asli dari bank yang melakukan negosiasi.[14]




BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (yang menerima jaminan) (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (pihak yang dijamin) (makful ‘anhu, ashil). Akad ini berlandaskan dalil baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi.
Secara garis besar, kafalah dibagi menjadi dua bagian yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bin-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bil-maal).
Kafalah dapat dilaksanakan dengan lima bentuk, yaitu, Kafalah Al-Mu’allaqah, Kafalah Al-Munjazah, Kafalah Bi At-Taslim, Kafalah Bi An-Nafs, Kafalah Bi Al-Mal,
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut hak manusia). Tidak menyangkut hak Allah Swt.(hudud).
Jika orang yang menjamin memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan atas perintah/izin yang dijamin, maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin. Jika tidak atas perintah orang yang dijamin, maka penjamin (kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).
Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin/pengelola proyek (makful ‘anhu) dapat menyelesaikan proyek dengan ditanggung pengerjaannya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan pihak ketiga (bank/kafil) yang menjamin pengerjaannya. Sedangkan dengan adanya kafalah pihak yang menerima jaminan/pemilik proyek (makful lahu) menerima jaminan dari penjamin (dalam hal ini bank/kafil ) bahwa proyek yang diselesaikan oleh nasabah pengelola proyek tadi dapat selesai dengan tepat waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya








DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan.
Jakarta:Tazkia Institute.
Nor, M. Dumairi, dkk. 2008. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan : Pustaka
Sidogiri.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zulkifli, Sunarto. 2001. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta:
Gema Insani.
Imron AL-Hushein, http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya
di-lembaga.html. Diakses tanggal 26/03/2016 pukul 13:45.
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa
dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui
diakses tanggal 26 Maret 2016 pukul 12:21
Kamaludin, Marjuki A 1997, FIKIH SUNNAH 13. Bandung : PT Al Ma’rif



[1] Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracts and business Transaction  (New Delhi: Adam Publishers and Distributors. 2006) hal. 289.
[2] Ahmad Isa Asyur,Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (Terj). (Solo: Pustaka Mantiq, 1995).Hal. 276.
[3] M. Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan : Pustaka Sidogiri, 2008.) hal. 73
[4] Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Asarut Tafasir  Jilid 2 (Madinah: Darus Sunnah. 1993) hal. 631.
[5]Wahabbah Al-Zuhaili, Asy-Syamil Li Adillah Asy-Syar’iyah Wa Al-Ara Al-Madzhabiyah Wa Ahammu Al_Nadhriyat A-Fiqhiyah (Beirut: Darul Fikri. 2005) Hal. 4142
[6] Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Jeddah: Al-Harmain.)Hal. 186.
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan (Jakarta:Tazkia Institute.1999) hal. 232.
[8] Wahabbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV (Beirut : Darul Fikri, 2005) Hal 4143
[9] Op. Cit, Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani, hal. 187.
[10] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fi Hal Ghayatul Ikhtishar Juz I (Semarang: Toha Putra.) hal.  280.
[11] Imran Ahsan  Khan Nyazee, Islamic Law of Business Organization Partnertships (New Delhi: Kitab Bhayan. 2006) hal. 61.
[12] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa-dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui  diakses tanggal 29 Maret 2013 pukul 12:21
[13] Imron AL Hushein,  http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya-di-lembaga.html. Diakses tanggal 30/03/2013 pukul 13:45

[14] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah,(Jakarta: Gema Insani. 2001) hal. 79.

0 komentar:

Posting Komentar