Minggu, 05 Juni 2016

Fikih Mawaris


FIKIH MAWARIS


OLEH:
KELOMPOK VIII

Ahmad Muarif                                                                      : 1401160357
Anugerah Putera                                                                  : 1401160399
Dedy Toyib Nur Kholis                                                        : 1401161474




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2014

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
بسم ا لله ا لر حمن ا لر حىم
Puji dan syukur hanya milik Allah S.W.T.Dia-la yang telah menganugerahkan Al-Quran sebagai hudan li al-nas dan rahmat li al-alamin.Dia-lah yang Maha Mengetahui makna dan maksud kandungan Al-Quran
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W.Utusan dan manusia pilihan-Nya. Dia-lah penyampai, pengamal, dan penafsir pertama Al-Quran.
Dengan pertolongan dan hidayah-Nya-lah,kami dapat menyelesaikan makalah ini atas judul “Fikih Mawaris”
Makalah ini kami susun guna  menyelesaikan tugas dari Ibunda Dra. Hj.Nurwahidah, MHI dalam mata kuliah “Fikih”
Adapun materi yang kami ambil dari berbagai sumber dan sedikit pengetahuan dari kami dan kami berharap, kiranya Ibunda Dra. Hj.Nurwahidah, MHI maupun para pembaca dapat memberikan kritik dan masukan yang positif serta saran-saran untuk kesempurnaan makalah ini
Sebagai harapan pula,semoga makalah ini tercatat sebagai amal saleh dan menjadi motivator bagi kami maupun pembaca dalam menuntut ilmu
Semoga makalah ini membawa manfaat bagi khususnya kami sebagai penyusun dan umumnya kita semua
Amin ya rabbbal alamin…
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh …

                                                                                                          Penyusun
Kelompok      VIII


DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.. 2
DAFTAR ISI. 4
BAB I. 5
PENDAHULUAN.. 5
A.    LATAR BELAKANG.. 5
B.    RUMUSAN MASALAH.. 5
C.    TUJUAN PENULISAN.. 5
BAB II. 6
PEMBAHASAN.. 6
BAB III. 15
KESIMPULAN DAN PENUTUP. 15
A.       KESIMPULAN.. 15
B.    PENUTUP.. 15
Daftar Pustaka. 16




BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pada dasarnya, setiap ciri khas dari suatu ilmu tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, kecuali jika definisi ilmu yang bersangkutan diketahui lebih dahulu. Karena ketidaktahuan terhadap sisi tertentu dari suatu ilmu, tidak mungkin seseorang akan termotivasi untuk menuntutnya. Ciri khas suatu ilmu juga dapat dilihat dari objek kajian dan tujuan-tujuan yang terkandung didalamnya, karena jika unsur-unsur dari suatu ilmu tidak dapat digambarkan, pembahasan ilmu tersebut juga akan menjadi sia-sia.

            Kemudian dalam pembahasan kali ini adalah sebuah kajian yang menjawab berbagai hal yang berhubungan dengan harta warisanatau pembagian harta dan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkannya. Karena sering kali polemik ini selalu berkelanjutan tidak ada ujungnya sampai-sampai bisa melaju ke meja hijau dalam pembagian harta Gono-gininya. Tak jarang hal ini juga yang menyebabkan pembunuhan antara msing-masing saudara untuk mendapatkan bagian yang lebih besar.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini telah di rumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian dan Hukum Ilmu Mawaris ?
2.      Apa sebab-sebab memperoleh Harta Warisan ?
3.      Siapa sajakah yang termasuk Ahli Waris ?

C.    TUJUAN PENULISAN
Untuk memenuhi tugas mata kuliah “FIKIH”serta menambah ilmu penulis maupun pembaca tentang
Ilmu dalam permasalahan waris dan segala lingkupannya



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Fiqh Mawaris 
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) memiliki pengertian yang sama dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yakni hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia..Proses peralihan harta warisa orang yang telah meninggal dunia pada ahli waris yang masih hidup. Masalah ini diatur dalam hukum kewarisan Islam/faraidh, atau yang disebut fiqh mawaris. Fiqh mawaris adalah berasal dari bahasa Arab yakni fiqh danmawaris.
Menurut Hazairin fiqh adalah hasil pemikiran manusia yang dapat melahirkan suatu ketetapan hukum yang berdasarkan al-Qurán dan as-Sunnah. Namun karena fiqhmerupakan hasil pemikiran manusia, tentu mengenal batasan-batasan tertentu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Pemikiran itu  ada dalam batasan disiplinnya, yaitu metode dan sumbernya, maka tidak setiap hasil pemikiran manusia dapat dipahami sebagai fiqh.
Dari pengertian diatas dapat diambil pengertian bahwa fiqh merupakan ilmu untuk memahami hukum syara’ yang diperoleh dengan jalan ijtihad yang digali dengan menggunakan dalil-dalil terperinci.[1]
Kata mawaris  merupakan jama’ dari lafal miiarats sedangkan lafal miiraats itu sendiri merupakan masdar dari lafal warasa. Secara bahasa kata miiraats memiliki beberapa arti, diantaranya : at-tirkah (harta peninggalan orang yang meninggal dunia).[2].Jadi fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu dan bagian setiap masing-masing ahli waris.[3]
Fiqh mawaris  biasa disebut juga dengan istilah Al-Faraidh yang mana lafal faraidh ini merupakan bentuk jamak dari lafal fardh yang berarti kewajiban atau bagian tertentu. Jika dihubungkan dengan ilmu, maka menjadi ilmu faraidh, dimana maksudnya ialah :
“ Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada kepada yang berhak menerimanya”.
Sebagian Para ulama ada yang mengartikan faraidh sebagai jamak dari lafalfariidhah yang diambil dari kata fardhu, oleh para ulama’ faradhiyuun diartikan semakna dengan mafrudhah, yakni bagian yang telah ditentukan atau bagian pasti.
Hal ini sesuaikan dengan Firman Allah SWT Sebagai telah disebutkan dalam surah An-Nisa’ pada ayat ke 7.
للّرجال نصيب ممّا ترك الولدان والاقربون وللنّساء نصيب ممّا ترك الولدان والاقربون ممّا قلّ منه اوكثر نصيبا مفروضا.
Artinya : “ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) ibu, bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan“.
Para ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang faraidh atau mawaris. Meskipun definisi tersebut berbeda-beda. akan tetapi definisi-definisi tersebut memiliki pengertian yang sama.[4]
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid medifinisikan ilmu faraidh sebagai berikut :
“ Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian)dari harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris)”.
Hasbi ash-Shiddieqy mendifinisikan sebagai berikut :
“ Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya “.
Dari definisi-definisi diatas, dapat dipahami bahwa ilmu faraidh atau fiqh mawarismerupakan ilmu yang menjelaskan tentang pembagian atau pemindahan harta dari seorang yang meninggal dunia pada yang masih hidup, baik mengenai harta peninggalannya, orang yang berhak mendapatkannya, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara menyelesaikan pembagian harta warisan itu.[5]


B.     Rukun Mewarisi
            Rukun mewaris merupakan hal yang harus dipenuhi untuk sahnya permasalahan waris,rukun waris mewaris ada 3 yaitu :
1.      Harta peninggalan
Harta peninggalan ialah harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, untuk dibagikan kepada ahli waris, setelah dipotong biyaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan didalam ilmu fiqh juga biasa disebut dengan tirkah, yaitu semua yang menjadi milik seseorang, baik berupa harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, hak-hak kewarisan bukan hanya berupa harta benda akan tetapi juga menyangkut harta yang tidak berupa harta benda yang dapat berpindah kepadam ahli warisnya. Seperti hak-hak menarik hasil dari sumber air, benda-benda yang digadaikan oleh pewaris (orang yang meninggal dunia), termasuk benda-benda yang sudah dibeli oleh pewaris yang bendanya belum diterima.[6]
2.      Pewaris atau orang yang meninggal dunia (mawaris)
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. Bagi seorang pewaris terdapat ketentuan bahwa harta yang yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna, baik menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian pewaris menurut para ulama’ fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni :
1)      Mati haqiqy (sejati), ialah matinya dapat dilihat dengan pancaindra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
2)      Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim) ialah kematian yang disebabkan adanya ponisan hakim, baik pada hakikatnya, dia masih hidup atau sudah mati. Sebagai contoh vonis mati yang dijatuhkan pada seseorang, padahal dia benar-benar masih hidup.
3)      Mati taqdiry (menurut dugaan) ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan huqmy, akan tetapi hanya sebagai dugaan keras.  Misalnya kematian seorang bayi  yang baru dilahirkan akibat terjadinnya pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan terhadap ibunya supaya  minum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dimana kematiannya juga dapat disebabkan oleh hal lain.[7]
3.      Ahli waris atau penerima warisan
Penerima warisan adalah orang yang akan menerima harta warisan dari pewaris disebabkan mempunyai hak-hak untuk menerima warisan. Seperti keluarga, namun tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan ahli waris. Begitu pula orang yang berhak menerima warisan mungkin saja diluar ahli waris.
Sebagai mana yang diterangkan dalam surah An-Nisaa’ ayat 8.
واذا حضرالقسمة اولوا القربى واليتمى والمسكين فارزقوهم منه وقولوا لهم قولا معروفا
Artinya : “ dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin maka berilah mereka dari harta itu (pemberian sekadarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan atau sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik “.[8]
C.       Penyebab Mendapat Warisan
Penyebab seseorang menerima warisan ada empat hal :
1)      Hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan ialah hubunga keturunan antara pewaris dengan ahli waris. Kekerabatan ini terdiri dari keturunan ke bawah (al-furu’), keturunan ke atas (al- ushul), dan keturunan kesamping (al-hawasyi).[9]
2)      Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan dengan artian seorang suami menjadi ahli waris istrinya yang telah meninggal dunia, begitu pula istri menjadi ahli waris suami ketika suaminya telah meninggal dunia.
Perkawinan yang menjadikan sebab timbulnya kewarisan antara suami dan istri memiliki dua syarat :
a)      Perkawinannya sah menurut syariat Islam
Artinya, syarat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduannya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan serta terlepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul.[10]
b)      Perkawinannya masih utuh 
Artinya suami istri masih terikat dalam tali perkawinan ketika salah satu dari mereka meninggal dunia. Juga termasuk dalam  masalah ini ialah, apabila seorang suami meninggal dunia  sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak rají dan perempuan masih dalam masa iddah.[11]
3)      Hubungan sebab Al-Wala’          
Wala’ menurut Sayid Sabiq ialah : kekerabatan yang disebabkan membebaskan budak wala’ul átaq atau dihasilkan karena perwalian yang disebut walaúl muwalah, yaitu akad anatara dua orang yang salah seorang diantara mereka tidak mempunyai ahli waris nasabi(keluarga) kemudian berkata kepada seorang lainnya : engkau adalah tuanku engkau adalah waliku, mewarisi hartaku apabila aku mati, melakukan bebanku apabila aku melakukan tindakan pidana atau membayar diyat apabila aku terkena pidana kesalahan karena pembunuhan atau yang lainnya, dan akad tersebut manjadi kesepakatanpara pihak yang berjanji.[12]
Wala’ ini menjadi ahli waris di dasarkan pada hadits nabi yang di riwayatkan Ibnu Hibban dan Hakim yang berbunyi :
Wala’ mempunyai bagian sebagaimana kerabat mempunyai bagian.
Selanjutnya Sayid Sabiq menyatakan bahwa wala’ul muwalah termasuk menjadi sebab pewaris menurut Abu Hanifah, tetapi tidak termasuk sebagai sebab pewarisan menurut jumhur ulama’.[13]
4)      Hubungan sesama Islam
Hubungan sesama Islam disini bisa terjadi jika seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan pada perbendaharaan umum atau yang biasa disebut baitul maal yang akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris diwarisi oleh umat Islam.[14] 
D.           Ashhabul furudh dan Ashobah
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1)      Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
A.      Yang dapat bagian ½ harta:
a)      Anak perempuan kalau sendiri
b)      Cucu perempuan kalau sendiri
c)      Saudara perempuan kandung kalau sendiri
d)      Saudara perempuan seayah kalau sendiri
e)      Suami
B.      Yang mendapat bagian ¼ harta
a)      Suami dengan anak atau cucu
b)      Isteri atau beberapa kalau tidak ada
c)      anak atau cucu
C.      Yang mendapat 1/8
Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
D.     Yang mendapat 2/3
a)      dua anak perempuan atau lebih
b)       dua cucu perempuan atau lebih
c)       dua saudara perempuan kandung atau lebih
d)      dua saudara perempuan seayah atau lebih
E.      Yang mendapat 1/3
Ibu jika tidak ada anak, cucu dari garsi anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu. Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan.
F.       Yang mendapat 1/6
Ibu bersama anak lak,i cucu laki atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
Ayah bersama anak laki atau cucu laki.
Kakek jika tidak ada ayah
Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2)      Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu.

A.      Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut:


·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
·         Ayah
·         Kakek dari garis ayah keatas
·         Saudara laki-laki kandung
·         Saudara laki-laki seayah
·         Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
·         Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
·         Paman kandung
·         Paman seayah
·         Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
·          Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
·         Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
·          Ashobah dengan dengan saudaranya
·         Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
·         Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
·         Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah.
·          Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah


B.     ashabah bil ghair yaitu ahli waris wanita yang menjadi ashabah karena ada saudara laki-lakinya, jumlahnya ada empat, yaitu:


1)      Anak perempuan, jika bersamanya anak laki-lak
2)      Cucu perempuan jika bersamanya cucu laki-laki
3)      Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya saudara laki-laki kandung
4)      saudara perempuan sebapak, jika bersamanya saudara laki-laki sebapak



C.     ashabah ma’al ghair yaitu ahli waris wanita yang menjadi ashabah karena ada anak wanita, jumlahnya ada dua, yaitu:


1)      Saudara perempuan kandung, jika bersamanya ada ahli waris :
·         anak perempuan (satu orang atau lebih), atau;
·         cucu perempuan (satu orang atau lebih
2)      ) Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya ada ahli waris :
·         anak perempuan (satu orang atau lebih), atau ;
·         anak perempuan (satu orang atau lebih)


                                                      
E.     Penghalang Mawaris
Hal-hal yang dapat menghalangi / menghilang ahli waris sebagai berikut :
1.      Perbudakan
Status seorang budak tidak boleh menjadi ahli waris, karena tidak cakap dalam mengurus harta dan telah putus kekeluargaannya dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu sebagai milik tuannya. Dia tidak bisa mewariskan hartanya, sebab ia sendiri tidak memiliki harta, karena harta yang ada pada dirinya ialah milik tuannya.[15]
2.      Pembunuhan
Para ahli hukum sepakat bahwa tindakan pembunuhan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan terhalangnya mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
Mengigat banyaknya bentuk pembunuhan para fuqaha berbeda pendapat. Fuqaha aliran syafiyah berpendapat bahwa segala bentuk tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, adalah menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisannya.
Sedangkan menurut fuqaha aliran Hanafiyah jenis pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi ada empat macam, yakni :
a)      pembunuhan dengan disengaja, yaitu pembunuhan yang direncanakan.
b)       pembunuhan mirip sengaja (syibhul ámdi),misalnya seorang melakukan penganiayaandengan pukulan tanpa niat membunuhnya, tetapi ternyata yang dipukul meninggal dunia. 
c)      pembunuhan karena khilaf (qathlul khatthaí) misalnya seorang pemburu yang menembak mati sesuatu yang dikira monyet, setelah didekati ternyata manusia. Atau seorang yang latihan menembak tetapi meleset mengenai bapaknya yang berada di depannya.
d)      pembunuhan dianggap khilaf misalnya orang yang sedang membawa benda berat tanpa disengaja terlepas jatuh mengenai saudaranya.[16]

3.      Berlainan Agama
Yang dimaksud berlainan Agama ialah berlainannya agama pewaris dengan ahli waris. Mengenai kelainan Agama ini  telah menjadi ijma’seuruh umat Islam. Hal ini dikarenakan hadits Rasulullah SAW :
“ Tidak saling mewarisi sesuatu diantara dua orang yang berlainan Agama. Orang Islam tidakmewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak mewarisi orang Islam. (H.R. Bukhari dan Muslim) “.[17]
4.      Berlainan Negara
Yang dimaksud berlainan Negara adalah berlainan atau perbedaan jenis pemerintahan. Mengenai berlainan Negara menjadi penghalang perwarisan, para ulama telah sepakat bahwa bahwa berlainan Negara bagi orang-orang islam tidak menjadi penghalang pewarisan. Tetapi bagi non muslim mereka berbeda pendapat. Sebagian menyatakan tidak menjadi penghalang sedangkan sebagian lainnya menyatakan bahwa berlainan Negara tersebut menjadi penghalangpewarisan.[18]



BAB III

KESIMPULAN DAN PENUTUP


A.   KESIMPULAN
Mawaris adalah membahas perkara yang berkaitan dengan harta peninggalan orang yang menminggal dunia. Dengan Tujuan Agar Umat Islam Dapat membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan nash Al Qur’an dan hadits, sesuai dengan keadilan sosial dan tugas serta tanggung jawab masing-masing ahli waris.
Kedudukan ilmu muwaris dalam agama islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena dengan membagi harta warisan secara benar maka salah satu urusan hak adami manusia bisa terselesaikan dengan baik.
Hal itulah yang menyebabkan ilmu mawaris mempunyai kedudukan yang sangat penting, sehingga Al Qur’an menjelaskan perkara mawaris secara terperinci.
Demikian juga Rasulullah SAW menganggap penting ilmu mawaris karena dihawatirkan kalau ilmu mawaris akan terlupakan, Rasullullah SAW bersabda:
Artinya:
Dari Abu hurairah Ra bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda: belajarlah ilmu faroid dan ajarkanlah kepada manusia maka sesungguhnya ilmu faroid adalah separuh dari ilmu agama dan dia akan dilupakan olah manusia dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari umatku (HR. Ibnu Majjah dan Daruquthni).

B.      PENUTUP
            Itulah tadi makalah dari kami tentang “FIKIH MAWARIS”
Semoga dengan makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan serta pemahaman kita akan mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama islam dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya untuk kehidupan kita.
Akhir kata atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih…..
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Daftar Pustaka


Ø  http://www.makalahkuliah.com/2012/05/pengantar-fiqh-mawaris.html
Ø  Muhibbin Moh., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009
Ø  Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002




[1] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:6
[2] http://www.makalahkuliah.com/2012/05/pengantar-fiqh-mawaris.html
[3] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:7
[4] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:8

[5] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:14
[6] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:57
[7] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:60
[8] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:61

[9] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:72
[10] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:7

[11] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:73
[12] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:30
[13] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:75
[14] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:32
[15] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:76
[16] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:77
[17] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:37
[18] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:40



dapatkan file

0 komentar:

Posting Komentar