FIKIH
MAWARIS
OLEH:
KELOMPOK
VIII
Ahmad
Muarif :
1401160357
Anugerah
Putera :
1401160399
Dedy
Toyib Nur Kholis :
1401161474
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
بسم ا لله ا لر حمن ا لر حىم
Puji dan syukur hanya milik Allah
S.W.T.Dia-la yang telah menganugerahkan Al-Quran sebagai hudan li al-nas
dan rahmat li al-alamin.Dia-lah yang Maha Mengetahui makna dan maksud
kandungan Al-Quran
Shalawat serta salam semoga tercurah
kepada Nabi Muhammad S.A.W.Utusan dan manusia pilihan-Nya. Dia-lah penyampai,
pengamal, dan penafsir pertama Al-Quran.
Dengan pertolongan dan
hidayah-Nya-lah,kami dapat menyelesaikan makalah ini atas judul “Fikih Mawaris”
Makalah ini kami susun guna menyelesaikan tugas dari Ibunda Dra.
Hj.Nurwahidah, MHI dalam mata kuliah “Fikih”
Adapun materi yang kami ambil dari
berbagai sumber dan sedikit pengetahuan dari kami dan kami berharap, kiranya
Ibunda Dra. Hj.Nurwahidah, MHI maupun para pembaca dapat memberikan kritik dan
masukan yang positif serta saran-saran untuk kesempurnaan makalah ini
Sebagai harapan pula,semoga makalah
ini tercatat sebagai amal saleh dan menjadi motivator bagi kami maupun pembaca
dalam menuntut ilmu
Semoga makalah ini membawa manfaat
bagi khususnya kami sebagai penyusun dan umumnya kita semua
Amin ya rabbbal alamin…
Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh …
Penyusun
Kelompok VIII
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
BAB II
PEMBAHASAN
BAB
III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. PENUTUP
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada dasarnya, setiap ciri khas dari
suatu ilmu tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya,
kecuali jika definisi ilmu yang bersangkutan diketahui lebih dahulu. Karena
ketidaktahuan terhadap sisi tertentu dari suatu ilmu, tidak mungkin seseorang
akan termotivasi untuk menuntutnya. Ciri khas suatu ilmu juga dapat dilihat
dari objek kajian dan tujuan-tujuan yang terkandung didalamnya, karena jika
unsur-unsur dari suatu ilmu tidak dapat digambarkan, pembahasan ilmu tersebut
juga akan menjadi sia-sia.
Kemudian dalam pembahasan kali ini adalah sebuah kajian yang menjawab berbagai hal yang berhubungan dengan harta warisanatau pembagian harta dan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkannya. Karena sering kali polemik ini selalu berkelanjutan tidak ada ujungnya sampai-sampai bisa melaju ke meja hijau dalam pembagian harta Gono-gininya. Tak jarang hal ini juga yang menyebabkan pembunuhan antara msing-masing saudara untuk mendapatkan bagian yang lebih besar.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam makalah ini telah di rumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Apa Pengertian
dan Hukum Ilmu Mawaris ?
2.
Apa
sebab-sebab memperoleh Harta Warisan ?
3.
Siapa
sajakah yang termasuk Ahli Waris ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
“FIKIH”serta menambah ilmu penulis maupun pembaca tentang
Ilmu dalam permasalahan waris dan segala lingkupannya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fiqh Mawaris
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) memiliki pengertian yang sama dengan Hukum Kewarisan dalam
bahasa Indonesia, yakni hukum yang mengatur tata cara pembagian harta
peninggalan orang yang meninggal dunia..Proses peralihan harta warisa orang
yang telah meninggal dunia pada ahli waris yang masih hidup. Masalah ini diatur
dalam hukum kewarisan Islam/faraidh, atau yang disebut fiqh
mawaris. Fiqh mawaris adalah berasal dari bahasa Arab
yakni fiqh danmawaris.
Menurut
Hazairin fiqh adalah hasil pemikiran manusia yang dapat melahirkan
suatu ketetapan hukum yang berdasarkan al-Qurán dan as-Sunnah. Namun
karena fiqhmerupakan hasil pemikiran manusia, tentu mengenal
batasan-batasan tertentu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Pemikiran
itu ada dalam batasan disiplinnya, yaitu metode dan sumbernya, maka
tidak setiap hasil pemikiran manusia dapat dipahami sebagai fiqh.
Dari pengertian diatas dapat diambil
pengertian bahwa fiqh merupakan ilmu untuk memahami hukum syara’ yang
diperoleh dengan jalan ijtihad yang digali dengan menggunakan dalil-dalil
terperinci.[1]
Kata mawaris merupakan
jama’ dari lafal miiarats sedangkan lafal miiraats itu
sendiri merupakan masdar dari lafal warasa. Secara bahasa
kata miiraats memiliki beberapa arti, diantaranya
: at-tirkah (harta peninggalan orang yang meninggal dunia).[2].Jadi fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa
saja yang berhak menerima harta peninggalan itu dan bagian setiap masing-masing
ahli waris.[3]
Fiqh mawaris biasa
disebut juga dengan istilah Al-Faraidh yang mana lafal faraidh ini merupakan
bentuk jamak dari lafal fardh yang berarti kewajiban atau bagian tertentu. Jika
dihubungkan dengan ilmu, maka menjadi ilmu faraidh, dimana maksudnya ialah :
“ Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang
yang telah meninggal dunia kepada kepada yang berhak menerimanya”.
Sebagian Para ulama ada yang mengartikan faraidh sebagai
jamak dari lafalfariidhah yang diambil dari kata fardhu, oleh para
ulama’ faradhiyuun diartikan semakna dengan mafrudhah, yakni bagian
yang telah ditentukan atau bagian pasti.
Hal ini sesuaikan dengan Firman Allah SWT Sebagai telah disebutkan
dalam surah An-Nisa’ pada ayat ke 7.
للّرجال نصيب ممّا ترك الولدان والاقربون وللنّساء نصيب ممّا ترك
الولدان والاقربون ممّا قلّ منه اوكثر نصيبا مفروضا.
Artinya : “ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) ibu, bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan“.
Para ahli faraidh banyak yang memberikan definisi
tentang faraidh atau mawaris. Meskipun definisi tersebut
berbeda-beda. akan tetapi definisi-definisi tersebut memiliki pengertian yang
sama.[4]
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid medifinisikan ilmu faraidh sebagai
berikut :
“ Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian)dari harta
peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris)”.
Hasbi ash-Shiddieqy mendifinisikan sebagai berikut :
“ Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan
dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli
waris, dan cara pembagiannya “.
Dari definisi-definisi diatas, dapat
dipahami bahwa ilmu faraidh atau fiqh mawarismerupakan ilmu yang
menjelaskan tentang pembagian atau pemindahan harta dari seorang yang
meninggal dunia pada yang masih hidup, baik mengenai harta peninggalannya,
orang yang berhak mendapatkannya, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara
menyelesaikan pembagian harta warisan itu.[5]
B.
Rukun Mewarisi
Rukun
mewaris merupakan hal yang harus dipenuhi untuk sahnya permasalahan waris,rukun
waris mewaris ada 3 yaitu :
1.
Harta
peninggalan
Harta peninggalan ialah harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, untuk dibagikan kepada ahli
waris, setelah dipotong biyaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan
wasiat. Harta peninggalan didalam ilmu fiqh juga biasa disebut dengan
tirkah, yaitu semua yang menjadi milik seseorang, baik berupa harta benda
maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal
dunia. Jadi, hak-hak kewarisan bukan hanya berupa harta benda akan tetapi juga
menyangkut harta yang tidak berupa harta benda yang dapat berpindah kepadam
ahli warisnya. Seperti hak-hak menarik hasil dari sumber air, benda-benda yang
digadaikan oleh pewaris (orang yang meninggal dunia), termasuk benda-benda yang
sudah dibeli oleh pewaris yang bendanya belum diterima.[6]
2.
Pewaris
atau orang yang meninggal dunia (mawaris)
Pewaris adalah orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan harta warisan. Bagi seorang pewaris terdapat ketentuan
bahwa harta yang yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna, baik menurut
kenyataan maupun menurut hukum. Kematian pewaris menurut para
ulama’ fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni :
1)
Mati
haqiqy (sejati), ialah matinya dapat dilihat dengan pancaindra dan dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian.
2)
Mati
hukmy (berdasarkan keputusan hakim) ialah kematian yang disebabkan adanya
ponisan hakim, baik pada hakikatnya, dia masih hidup atau sudah mati. Sebagai
contoh vonis mati yang dijatuhkan pada seseorang, padahal dia benar-benar masih
hidup.
3)
Mati
taqdiry (menurut dugaan) ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan
huqmy, akan tetapi hanya sebagai dugaan keras. Misalnya kematian
seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadinnya pemukulan
terhadap perut ibunya atau pemaksaan terhadap ibunya supaya minum
racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dimana
kematiannya juga dapat disebabkan oleh hal lain.[7]
3.
Ahli
waris atau penerima warisan
Penerima warisan adalah orang yang
akan menerima harta warisan dari pewaris disebabkan mempunyai hak-hak untuk
menerima warisan. Seperti keluarga, namun tidak semua keluarga dari
pewaris dinamakan ahli waris. Begitu pula orang yang berhak menerima warisan mungkin
saja diluar ahli waris.
Sebagai mana yang diterangkan dalam surah An-Nisaa’ ayat 8.
واذا حضرالقسمة اولوا القربى واليتمى والمسكين فارزقوهم منه وقولوا
لهم قولا معروفا
Artinya : “ dan apabila sewaktu pembagian itu hadir
kerabat (kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka),
anak yatim dan orang miskin maka berilah mereka dari harta itu (pemberian
sekadarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan atau sekadarnya)
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik “.[8]
C.
Penyebab
Mendapat Warisan
Penyebab seseorang menerima warisan ada empat hal :
1)
Hubungan
kekerabatan
Hubungan kekerabatan ialah hubunga keturunan antara pewaris dengan
ahli waris. Kekerabatan ini terdiri dari keturunan ke bawah (al-furu’),
keturunan ke atas (al- ushul), dan keturunan kesamping (al-hawasyi).[9]
2)
Hubungan
perkawinan
Hubungan perkawinan dengan artian
seorang suami menjadi ahli waris istrinya yang telah meninggal dunia, begitu
pula istri menjadi ahli waris suami ketika suaminya telah meninggal dunia.
Perkawinan yang menjadikan sebab timbulnya kewarisan antara suami
dan istri memiliki dua syarat :
a)
Perkawinannya
sah menurut syariat Islam
Artinya, syarat
dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduannya telah berlangsung
akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi
syarat dan rukun pernikahan serta terlepas dari semua halangan pernikahan
walaupun belum kumpul.[10]
b)
Perkawinannya
masih utuh
Artinya suami istri masih terikat
dalam tali perkawinan ketika salah satu dari mereka meninggal dunia. Juga
termasuk dalam masalah ini ialah, apabila seorang suami meninggal
dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam
bentuk talak rají dan perempuan masih dalam masa iddah.[11]
3)
Hubungan
sebab Al-Wala’
Wala’ menurut Sayid Sabiq ialah :
kekerabatan yang disebabkan membebaskan budak wala’ul átaq atau dihasilkan
karena perwalian yang disebut walaúl muwalah, yaitu akad anatara dua orang yang
salah seorang diantara mereka tidak mempunyai ahli waris nasabi(keluarga)
kemudian berkata kepada seorang lainnya : engkau adalah tuanku engkau adalah
waliku, mewarisi hartaku apabila aku mati, melakukan bebanku apabila aku
melakukan tindakan pidana atau membayar diyat apabila aku terkena pidana
kesalahan karena pembunuhan atau yang lainnya, dan akad tersebut manjadi
kesepakatanpara pihak yang berjanji.[12]
Wala’ ini menjadi ahli waris di dasarkan pada hadits nabi yang di
riwayatkan Ibnu Hibban dan Hakim yang berbunyi :
Wala’ mempunyai bagian sebagaimana kerabat mempunyai bagian.
Selanjutnya Sayid Sabiq menyatakan bahwa wala’ul muwalah termasuk
menjadi sebab pewaris menurut Abu Hanifah, tetapi tidak termasuk sebagai sebab
pewarisan menurut jumhur ulama’.[13]
4)
Hubungan
sesama Islam
Hubungan sesama
Islam disini bisa terjadi jika seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki
ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan pada perbendaharaan umum atau
yang biasa disebut baitul maal yang akan digunakan oleh umat Islam.
Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris
diwarisi oleh umat Islam.[14]
D.
Ashhabul furudh dan Ashobah
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua
yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1) Ashabul furudh yaitu orang
yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
A. Yang dapat bagian ½ harta:
a) Anak perempuan kalau sendiri
b) Cucu perempuan kalau
sendiri
c) Saudara perempuan kandung
kalau sendiri
d) Saudara perempuan seayah
kalau sendiri
e) Suami
B. Yang mendapat bagian ¼
harta
a) Suami dengan anak atau
cucu
b) Isteri atau beberapa kalau
tidak ada
c) anak atau cucu
C. Yang mendapat 1/8
Isteri atau beberapa
isteri dengan anak atau cucu.
D. Yang mendapat 2/3
a) dua anak perempuan atau
lebih
b) dua cucu perempuan
atau lebih
c) dua saudara
perempuan kandung atau lebih
d) dua saudara perempuan
seayah atau lebih
E. Yang mendapat 1/3
Ibu jika tidak ada anak,
cucu dari garsi anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu. Dua atau
lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan.
F. Yang mendapat 1/6
Ibu bersama anak lak,i
cucu laki atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
Nenek garis ibu jika tidak
ada ibu dan terus keatas
Nenek garis ayah jika
tidak ada ibu dan ayah terus keatas
Satu atau lebih cucu
perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
Ayah bersama anak laki atau cucu laki.
Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
Ayah bersama anak laki atau cucu laki.
Kakek jika tidak ada ayah
Saudara seibu satu orang,
baik laki-laki atau perempuan.
2) Ahli waris ashobah yaitu
para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat menghabiskan
bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi,
ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu.
A. Ashobah binafsihi adalah
yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut:
·
Anak laki-laki
·
Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
·
Ayah
·
Kakek dari garis ayah keatas
·
Saudara laki-laki kandung
·
Saudara laki-laki seayah
·
Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
·
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
·
Paman kandung
·
Paman seayah
·
Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
·
Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
·
Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
·
Ashobah dengan dengan saudaranya
·
Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
·
Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
·
Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah.
·
Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki
seayah
B.
ashabah
bil ghair yaitu ahli waris wanita yang menjadi ashabah karena ada saudara
laki-lakinya, jumlahnya ada empat, yaitu:
1)
Anak perempuan, jika bersamanya anak laki-lak
2)
Cucu perempuan jika bersamanya cucu laki-laki
3)
Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya saudara laki-laki kandung
4)
saudara perempuan sebapak, jika bersamanya saudara laki-laki sebapak
C.
ashabah
ma’al ghair yaitu ahli waris wanita yang menjadi ashabah karena ada anak
wanita, jumlahnya ada dua, yaitu:
1) Saudara perempuan kandung, jika bersamanya ada
ahli waris :
·
anak perempuan (satu orang atau lebih), atau;
·
cucu perempuan (satu orang atau lebih
2) ) Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya
ada ahli waris :
·
anak perempuan (satu orang atau lebih), atau ;
·
anak perempuan (satu orang atau lebih)
E.
Penghalang
Mawaris
Hal-hal yang dapat menghalangi / menghilang ahli waris sebagai
berikut :
1.
Perbudakan
Status seorang budak tidak boleh
menjadi ahli waris, karena tidak cakap dalam mengurus harta dan telah putus
kekeluargaannya dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu sebagai
milik tuannya. Dia tidak bisa mewariskan hartanya, sebab ia sendiri tidak
memiliki harta, karena harta yang ada pada dirinya ialah milik tuannya.[15]
2.
Pembunuhan
Para ahli hukum sepakat bahwa
tindakan pembunuhan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan terhalangnya
mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
Mengigat banyaknya bentuk pembunuhan para fuqaha berbeda
pendapat. Fuqaha aliran syafiyah berpendapat bahwa segala bentuk
tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, adalah
menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisannya.
Sedangkan menurut fuqaha aliran Hanafiyah jenis pembunuhan yang
menjadi penghalang mewarisi ada empat macam, yakni :
a)
pembunuhan
dengan disengaja, yaitu pembunuhan yang direncanakan.
b)
pembunuhan
mirip sengaja (syibhul ámdi),misalnya seorang melakukan penganiayaandengan
pukulan tanpa niat membunuhnya, tetapi ternyata yang dipukul meninggal
dunia.
c)
pembunuhan
karena khilaf (qathlul khatthaí) misalnya seorang pemburu yang menembak mati
sesuatu yang dikira monyet, setelah didekati ternyata manusia. Atau seorang
yang latihan menembak tetapi meleset mengenai bapaknya yang berada di depannya.
d)
pembunuhan
dianggap khilaf misalnya orang yang sedang membawa benda berat tanpa disengaja
terlepas jatuh mengenai saudaranya.[16]
3.
Berlainan
Agama
Yang dimaksud berlainan Agama ialah
berlainannya agama pewaris dengan ahli waris. Mengenai kelainan Agama
ini telah menjadi ijma’seuruh umat Islam. Hal ini dikarenakan hadits
Rasulullah SAW :
“ Tidak saling mewarisi sesuatu diantara dua orang yang
berlainan Agama. Orang Islam tidakmewarisi orang kafir dan orang kafir pun
tidak mewarisi orang Islam. (H.R. Bukhari dan Muslim) “.[17]
4.
Berlainan
Negara
Yang dimaksud
berlainan Negara adalah berlainan atau perbedaan jenis pemerintahan. Mengenai
berlainan Negara menjadi penghalang perwarisan, para ulama telah sepakat bahwa
bahwa berlainan Negara bagi orang-orang islam tidak menjadi penghalang
pewarisan. Tetapi bagi non muslim mereka berbeda pendapat. Sebagian menyatakan
tidak menjadi penghalang sedangkan sebagian lainnya menyatakan bahwa berlainan
Negara tersebut menjadi penghalangpewarisan.[18]
BAB
III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Mawaris adalah
membahas perkara yang berkaitan dengan harta peninggalan orang yang menminggal
dunia. Dengan Tujuan Agar Umat Islam Dapat membagi harta warisan sesuai dengan
ketentuan nash Al Qur’an dan hadits, sesuai dengan keadilan sosial dan tugas
serta tanggung jawab masing-masing ahli waris.
Kedudukan ilmu muwaris
dalam agama islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena dengan
membagi harta warisan secara benar maka salah satu urusan hak adami manusia
bisa terselesaikan dengan baik.
Hal itulah yang
menyebabkan ilmu mawaris mempunyai kedudukan yang sangat penting, sehingga Al
Qur’an menjelaskan perkara mawaris secara terperinci.
Demikian juga Rasulullah
SAW menganggap penting ilmu mawaris karena dihawatirkan kalau ilmu mawaris akan
terlupakan, Rasullullah SAW bersabda:
Artinya:
Dari Abu hurairah Ra
bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda: belajarlah ilmu faroid dan ajarkanlah
kepada manusia maka sesungguhnya ilmu faroid adalah separuh dari ilmu agama dan
dia akan dilupakan olah manusia dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari
umatku (HR. Ibnu Majjah dan Daruquthni).
B.
PENUTUP
Itulah tadi makalah dari kami
tentang “FIKIH MAWARIS”
Semoga
dengan makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan serta pemahaman kita akan mawaris dalam kehidupan
keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama islam dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya
untuk kehidupan kita.
Akhir kata
atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih…..
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Daftar Pustaka
Ø http://www.makalahkuliah.com/2012/05/pengantar-fiqh-mawaris.html
Ø Muhibbin Moh., Hukum
Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009
Ø Suparman Usman, Fiqh
Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002
[1] Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:6
[2] http://www.makalahkuliah.com/2012/05/pengantar-fiqh-mawaris.html
[3] Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:7
[4] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
2009:8
[5] Suparman Usman,
Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:14
[6] Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:57
[7] Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:60
[8] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
2009:61
[9] Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:72
[10] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
2009:7
[11] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
2009:73
[12] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:30
[13] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
2009:75
[14] Suparman Usman,
Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:32
[15] Moh. Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 2009:76
[16] Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
2009:77
[17] Suparman Usman,
Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002:37
0 komentar:
Posting Komentar