Kelompok 10
Anugerah Putera
Maulana
MegaWinarti
|
PEMBAHASAN
A. Definisi
Manajemen Likuiditas
Likuiditas
pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk
memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata
lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih baik
yang dapat
diduga ataupun yang tidak terduga.[1]
Sedangkan
manajemen liuiditas sendiri memiliki banyak pengertian, beberapa diantaranya
adalah menurut :
1. Duane B
Graddy : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh
masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan ”
2. Oliver G
Wood : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas
secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan
jangka panjang ”.[2]
Manajemen
likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat
likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera
harus di bayar.[3]
B. Tujuan manajemen
likuiditas
1. Mencapai
cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalau
tidak dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral.
2. Memperkecil
dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan mengurangi
profitabilitas bank.
3. Mencapai
likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam
kondisi yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan
pinjaman.
C. Pengelolaan likuiditas dalam perbankan syariah
Dalam bank
syariah manajemen likuiditas secara konsep tidak jauh berbeda dengan
manajemen bank konvensional. Baik itu dari segi tujuan dan resiko yang
akan dihadapi oleh bank syariah. Yang membedakan hanyalah pada akad yang
digunakan ketika melakukan kontrak. Selama ini alat untuk manajemen likuiditas
dalam bank syariah adalah PUAS (pasar uang antar bank syariah) dengan akad
wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank syariah) dan SWBI (surat wadiah
bank indonesia) juga dengan akad wadiah. Apabila suatu bank kekurangan
likuiditas, maka bank tersebut akan meminjam kepada bank lain berupa PUAS, SWBI
atau menerbitkan SIMA, dan sebaliknya. Jadi pada prinsipnya manajemen bank baik
konvensional maupun syariah tidak jauh berbeda. Yang membedakan dan yang
ditekankan adalah bagaimana cara mendapatkan dana tersebut haruslah sesuai
dengan syariah.
D. Istrumen
Likuiditas Bank Syariah[4]
Untuk
mengatasi masalah likuiditas dalam dunia perbankan, baik itu bersifat kelebihan
likuiditas ataupun kekurangan likuiditas, maka banyak sekali cara yang bisa digunakan.
Ketika terjadi kelebihan likuiditas, pemerintah bisa mengatasinya dengan cara
menerbitkan surat berharga islami, baik itu seperti sukuk dan lainnya.
Kunci yang
harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah:
1.
Memiliki
Primary Reserve ( Cadangan Primer )
yaitu
dalam kas atau saldo yang ada pada Bank Indonesia atau Bank lain. Dalam
dunia perbankan, primary reserve terdiri dari:
a. Giro pada
Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM)
Selama ini
Giro pada bank sentral dikenal dengan istilah yakni merupakan kewajiban setiap
bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK)
untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama,
bagi Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
kurang dari 80%, mendapat tambahan GWM sebagai berikut:
1) Yang
memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar
1% dari DPK dalam rupiah.
2) Yang
memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan
dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
3) Yang
memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah
sebesar 3% dari DPK dalam rupiah. Sedangkan bagi yang memiliki rasio
pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan /atau yang
memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan
GWM.
b.
Kas pada valuta.
Alat
likuid ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan
transaksi sehari-hari.
c. Giro pada
Bank lain
Rekening
giro pada bank lain bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer,
inkaso, transaks L/C, dan lain-lain)
d. Item-item
uang tunai yang masih dalam proses inkaso.
Alat
likuid ini terdiri dari cek bank sentral atau bank koresponden yang belum
secara efektif dikreditkan pada rekening bank pada bank sentral atau bank
koresponden.
Dapat di
katakan likuid apabila bank syariah dapat memelihara GWM di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, dapat memelihara giro di Bank Koresponden dengan besarnya
berdasarkan saldo minimum, dapat memelihara sejumlak kas secukupnya untuk memenuhi
pengambilan uang tunai.[5]
2.
Memiliki
Secondary Reserve
Secondary
Reserve merupakan cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve,
ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek. Baik
dalam kondisi normal apalagi kondisi krisis atau pasar sedang ketat, kebutuhan likuiditas sulit untuk diantisipasi dan
dipenuhi segera terutama jika terjadi rush, sehubungan dengan hal tersbut
Cadangan Sekunder yang ditempatkan dalam bentuk surat-surat berharga
(Marketable Securities) dilakukan dalam rangka memaksimalisasi penempatan dana
setiap saat dan harus menghasilkan
Adapun
cadangan sekunder berupa surat-surat berharga bisa berupa:
a.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI)
Peraturan
Bank Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan
Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip
wadiah.
Adapun
ketentuan SWBI sebagai berikut :
1) Jumlah
dana yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000 dan selebihnya dengan
kelipatan Rp 50.000.000,. Jangka waktu SWBI satu minggu, dua minggu, dan satu
bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.
2) Imbalan
yang diterima pada saat jatuh tempo adalah berupa bonus. Besarnya bonus akan
dihitung dengan menggunakan acuan tingkat indikasi imbalan PUAS, yaitu
rata-rata tertimbang dari tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA yang terjadi
di PUAS pada tanggal penitipan
Peran SWBI
dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek bagi Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah yang memilikinya adalah bisa digunakan pada saat terjadi kekurangan
likuiditas ketika tidak tersedianya dana dari Pasar Uang ataupun dari Bank
Pusat untuk Unit Usaha Syariah. Sebagai the lender of last resort, Bank
Indonesia dapat memberikan pembiayaan dalam bentuk Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek bagi Bank Syariah dan SWBI tersebut dapat dijadikan agunan bagi
fasilitas pembiayaan tersebut.
b.
Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN)
Berdasarkan
Undang-Undang SBSN yang diterbitkan pada Mei 2008, Surat Berharga Syariah
Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing.
Sedangkan
Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di pasaran meliputi
1) Sukuk
ijarah yakni sukuk yang berdasarkan akad ijarah dimana satu pihak bertindak
sendiri atau dapat diwakili dalam menjual atau menyewakan hak manfaat atas
suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
2) Sukuk
mudharabah, yakni sukuk yang berdasarkan akad mudharabah dimana satu pihak
menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dan keuntungan
dari kerjasama tersebut akan dibagikan berdasarkan perjanjian sebelumnya.
3) Sukuk
musyarakah, yakni sukuk berdasarkan akah musyarakah dimana dua pihak atau lebih
bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan
proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun
kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal
masing masing pihak.
4) Sukuk
istisna’, yakni sukuk berdasarkan akad istisna’ dimana pihak
menyepakati jual beli dalam pembiayaan suatu proyek atau barang. Adapun harga,
waktu penyerahan, dan spesifikasi barang atau proyek ditentukan terlebih dahulu
berdasarkan kesepakatan.
3.
Mempunyai
akses ke pasar uang.
Pasar uang
yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar modal
syariah.
a. Pasar Uang
Antar Bank Syariah (PUAS)
Pasar Uang
Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka pendek
antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.
Untuk saat ini, instrument keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah
Antar Bank (SIMA) . Tujuan diberlakukannya Sertifikat IMA ini adalah untuk
sarana investasi bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah, terutama untuk
mengatur kebutuhan likuiditasnya. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank
(sertifikat IMA) didefinikan sebagai sertifikat yang diterbitkan oleh Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang digunakan sebagai sarana investasi
jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah.
Adapun
karakteristik Sertifikat IMA :
1) Diterbitkan
dengan akad mudharabah
2) Dapat
diterbitkan baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing
3) Dapat
diterbitkan dengan atau tanpa warkat.
4) Mencantumkan
informasi sedikitnya : nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu
investasi, indikasi tingkat imbalan Sertifikat IMA sebelum didistribusikan pada
bulan terakhir.
5) Berjangka
waktu 1 hari sampai dengan 365 hari
6) Dapat
diperdagangkan sebelum jatuh tempo.
b. Pasar
Modal Syariah
Instrument
di pasar modal syariah saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta
Islamic Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan
berinvestasi pada saham, maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary
reserve dimana instrument ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan
dicairkan untuk reksadana syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah
membutuhkan dana jangka pendek.
c.
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank
Syariah (FPJPS)
FPJPS
merupakan instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan
tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka
pendek. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek ini, diberikan hanya kepada Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka
pendek, namun masih memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan.
d. LPS
Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
Setiap
Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi
peserta Penjaminan LPS. Jenis Bank tersebut meliputi bank umum dan BPR,
termasuk bank nasional, bank campuran dan bank asing, serta bank konvensional
dan bank Syariah. LPS adalah badan hukum yang independent yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(UU LPS) yang ditetapkan tanggal 22 September 2004. Pendirian dan operasional
LPS dimulai sejak UU LPS berlaku efektif yakni tanggal 22 September 2005. LPS
menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro,
sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. LPS juga
menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro wadiah, tabungan wadiah,
tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. LPS hanya akan menjamin pembayaran
simpanan nasabah tersebut sampai dengan jumlah Rp 2 milyar sedangkan sisanya
akan dibayarkan dari hasil likuiditasi bank.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Likuiditas
pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk
memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata
lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiba mgn pada saat ditagih
baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga. Manajemen likuidits bank
Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang
mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Fungsi
dari manajemen likuiditas salah satunya adalah untuk memberikan keyakinan
kepada para penyimpan dana bahwa deposan dapat menarik sewaktu-waktu dananya
atau pada saat jatuh tempo dana tersebut dapat ditarik. Oleh karena itu bank
wajib mempertahankan sejumlah dana likuid agar bank dapat memenuhi kewajibannya
tersebut. Selama ini
alat untuk manajemen likuiditas dalam bank syariah adalah PUAS (pasar uang
antar bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank
syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad wadiah.
Apabila suatu bank kekurangan likuiditas, maka bank tersebut akan meminjam
kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA, dan sebaliknya.
Instrument
yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah : 1.
Memiliki Primary Reserve ( Cadangan Primer ) yang terdiri dari: Giro
pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM), Kas pada valuta,
Giro pada Bank lain, Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso.
2.Memiliki Secondary Reserve Yaitu cadangan yang berfungsi sebagai penyangga
Primary Reserve. Adapun cadangan sekunder berupa surat - surat berharga bisa
berupa: Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN).3. Mempunyai akses ke pasar uang yaitu : Pasar
Uang Antar Bank Syariah (PUAS), Pasar Modal Syariah, Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS), LPS Sebagai Sarana Penunjang
Likuiditas Perbankan
DAFTAR PUSTAKA
Djinarto,Bambang. Banking Asset Liability
Management. 2000, Jakarta : Gramedia Pustaka utama.
Muhamad.Manajemen Dana Bank Syariah. 2004.
Yogyakarta : Ekonisia.
Rusyamsi, Imam. Asset Liability Managemen :
Strategi pengelolaan Aktiva Pasiva Bank. 1999 Yogyakarta : UPP AMP YKPN,
1999.
http://shariaeconomy.blogspot.com/2014/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html
[1] Bambang Djinarto, Banking Asset Liability Management, ( Jakara: Gramedia Pustak
utamat ), 2000, hlm 15
[2] http://shariaeconomy.blogspot.com/2014/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html
[3] Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah,
( Yogyakarta: Ekonisia ), 2004, hlm.63
[4] http://risaariani6.blogspot.com/2014/11/manajemen-likuiditas-perbankan-syariah.html
[5] Imam Rusyamsi, Asset Liability Managemen : Strategi pengelolaan Aktiva Pasiva Bank,(Yogyakarta:
UPP AMP YKPN, 1999), hlm.39
0 komentar:
Posting Komentar